17 Agustus, Dulu dan Kini

Bulan Agustus selalu menjadi bulan yang paling meriah diantara 11 bulan lainnya. Gapura di setiap gang kampungku di cat baru. Umbul-umbul dipasang di jalan raya menuju kampungku. Aneka macam hiasan dari kertas berwarna merah putih menghias sebagian besar rumah warga.

Setiap minggu pagi ada kerja bakti membersihkan kampung, sorenya diadakan berbagai macam lomba. Mengambil uang logam yang diselipkan dalam buah pepaya yang dilumuri oli menggunakan mulut. Lomba makan kerupuk, balap karung, memasukkan pensil ke dalam botol, lari marathon. Lomba lari membawa kelereng dalam sendok, menangkap belut, bola volley bagi ibu-ibu dan juga kasti. Satu lagi yang paling seru dan paling di tunggu, lomba panjat pinang.  Perlombaan dilakukan di halaman masjid. Suasana riuh karena semua warga turut berpartisipasi, mengikuti lomba atau sekedar bersorak menjadi penonton.

Bagi kami, anak-anak, berbagai macam lomba itu wajib diikuti. Bukan panitia yang mewajibkan, tapi diri kami sendiri. Bahkan panitia kadang kerepotan karena banyaknya peserta lomba. Setiap anak ingin jadi juara. Jika tak jadi juara lomba lari, maka masih ada harapan menjadi juara lomba balap karung. Dalam lomba balap karung kalah, masih ada harapan juara lomba makan kerupuk. Penyemangat kami adalah hadiah bagi para juara lomba.

Hadiah lomba, bagi anak-anak biasanya berupa buku dan alat tulis. Buku dan alat tulis ini sangat besar nilainya bagi anak-anak petani miskin seperti kami. Bagi peserta dewasa, kain sarung dan handuk. Dananya berasal dari iuran warga. Para pemuda kampung berkeliling ke rumah warga mengumpulkan sumbangan, mereka pula yang menjadi panitia segala kegiatan yang berhubungan dengan peringatan 17 Agustus.

Malam 17 Agustus diadakan pengajian, sekaligus pengumuman dan penyerahan hadiah bagi para pemenang lomba. Acara diakhiri dengan makan bersama. Tua muda, besar kecil semua berkumpul di masjid. Semua diajak merenungi makna kemerdekaan. Jika tak merdeka, tak mungkin ada lomba-lomba, tak mungkin bisa berkumpul di masjid tanpa rasa was-was, tak mungkin bisa makan enak bersama.

Pagi harinya, anak-anak berangkat ke sekolah untuk mengikuti upacara bendera. Usai upacara, ada yang ikut karnaval. Para orang tua kembali pada rutinitasnya, bekerja di sawah. Menjelang jam 9 mereka pulang, berkumpul di depan TV, menyaksikan siaran langsung upacara bendera dari istana negara. Dalam diam, mereka menyaksikan seluruh prosesi upacara. Walau duduk santai, pikiran mereka seolah turut berada di istana. Turut serta dalam barisan para peserta upacara.

Begitulah cara warga kampungku turut merayakan peringatan kemerdekaan.

***

Kini kampungku tak seramai dulu. Bulan agustus tak lagi istimewa dan ditunggu-tunggu. Tak ada umbul-umbul, tak ada pengecatan gapura, tak ada kerja bakti membersihkan kampung. Kampungku kini sepi, tak ada lagi para pemuda yang menjadi penggerak dan pengumpul dana. Para pemuda lebih memilih merantau ke kota.

Aneka lomba tujuhbelasan pun sepi peminat. Anak-anak tak lagi antusias. Para orang tua lebih suka diam di depan TV dibanding berkumpul di halaman masjid meramaikan lomba. Padahal hadiah yang ditawarkan juga makin besar nilainya. Ada DVD player, magic jar, blender bahkan juga televisi. Namun rupanya iming-iming hadiah itu tetap tak bisa menarik banyak minat warga.

Malam 17 agustus, ada acara tirakatan di masjid. Pesertanya para sesepuh. Para pemuda lebih memilih menonton panggung hiburan di kampung sebelah. Berjoged dan begadang hingga menjelang pagi.

Pagi harinya ada upacara bendera di lapangan kampung. Sudah ada edaran sebelumnya dari kepala desa. Tapi tak banyak warga yang hadir. Lapangan hanya dipenuhi anak-anak berseragam sekolah, anak-anak SD di kampung kami.

Siaran langsung upacara bendera dari istana negara pun tak lagi jadi tontonan utama. Membosankan, demikian kata beberapa orang.

***

Agaknya tak hanya di kampungku yang kondisinya seperti itu. Aneka lomba  tak lagi menarik. Bahkan ada yang bilang malas ikut lomba, udah capek hadiahnya dikit lagi. Ritual upacara bendera pun hanya sebatas seremoni saja. Tak lagi khidmat, tak lagi syahdu. Bahkan saat upacara pun banyak yang malah sms an. Acaranya membosakan, demikian alasannya.

***

Memaknai kemerdekaan memang tak semata dengan aneka lomba, tak semata-mata dengan ikut upacara bendera. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memaknai da merenungkan kembali bagaimana perjuangan para pendahulu kita.

Mengunjungi para veteran perang, mendengarkan kisah mereka. Dapat mengingatkan kembali betapa susahnya para pendahulu kita, betapa beratnya perjuangan mereka untuk memperoleh satu kata, MERDEKA.

Mengunjungi museum, mendengarkan diorama yang diputar disana. Jika hati masih peka, pasti kita akan terbawa ke suasana masa lalu. Kita diingatkan kembali bahwa untuk MERDEKA itu tidaklah mudah. Ada banyak yang harus dikorbankan.

Kemerdekaan, sudah selayaknya dimanfaatkan dengan baik. Dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Jika para pendahulu kita telah mengorbankan harta benda bahkan juga nyawa demi sebuah kemerdekaan, maka apa yang kini dapat kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan itu? Marilah kita merenung sejenak. Apa yang dapat kita berikan untuk Indonesia yang telah merdeka ini

***

Tulisan ini juga di publikasikan di kompasiana.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/13/17-agustus-dulu-dan-kini/

Baca yang ini juga

21 thoughts on “17 Agustus, Dulu dan Kini

  1. Suasana 17-an memang sudah berbeda jauh antara dulu dan kini ya mbak… Tiap mo 17-an gini, aku pasti ngerasa kangen dengan suasana meriah yang seperti dulu lagi…bagaimanapun sebenarnya setiap perayaan itu sedikit banyak membangkitkan rasa cinta kita pada negara ini…

    1. Allisa, iya kangen lihat umbul-umbul warna-warni, lomba 17 an. Dikantor tahun ini nggak ada lomba-lomba, karena bertepatan dengan bulan puasa

  2. Tugas kita adalah mengisi kemerdekaan dengnan baik. Yang perlu kita renungkan adalah, ‘Sudahkah kita (rakyat Indonesia) mengisi kemerdekaan dengan baik?’.

  3. meski sudah bebas dari penjajah dan suara magasin + bom bom mortir tank, namun masih sangat brisik di negara ini suara penjajah para koruptor

  4. sebagai rakyat kecil yang bisa saya lakukan dalam mengisi kemerdekaan ini hanya dengan mencoba menjadikan hidup ini lebih berguna minimal untuk keluarga dulu.. salah satunya berjuang sekuat tenaga untuk bisa menyekolahkan anak…

  5. dari cerita ceritanya memang sdh beda ya mbak perayaan 17 agustusan di sana

    Selamat berlebaran mbak, maaf lahir bathin

  6. Iya, bener banget Mbak…knapa bisa jadi begini ya suasananya…jauh banget sama dahulu …kangen suasana Agustusan seperti masa kecil dan masa remaja saya…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: