Amelia, bungsu dari 4 bersaudara. Anak yang paling teguh hatinya dibanding tiga kakaknya. Anak yang selalu mempertanyakan apa yang tidak diketahuinya, terus bertanya sampai mendapat jawaban yang memuaskan.

Amelia, bungsu yang tak suka menjadi anak bungsu. Anak yang selalu disuruh-suruh. Anak yang selalu dijahili oleh kakak-kakaknya. Anak yang punya keinginan untuk jadi anak sulung, yang bisa memerintah adik-adiknya, yang bisa mencubit dan memarahi adik-adiknya.

Amelia. Buku karangan Tere Liye. Mengisahkan tentang anak mamak yang bungsu. Yang daya pikirnya, menurut saya, tak sesuai dengan usianya. Atau karena keadaan yang memaksa, hingga ia menjadi cepat dewasa?

Amelia, pernah punya perasaan benci pada kakak sulungnya, Eliana. Eliana selalu saja mengganggu hidupnya. Membangunkan dipagi hari saat ia masih merasa mengantuk, menyuruh ini itu, kadang sambil mengomel (persis seperti mamak), kadang mencubit jika Amel membantah. Pokoknya, Amel benci jadi anak bungsu. Amel benci pada Kak Eli. Amel pun merasa kalau kak Eli membencinya.

Hingga suatu hari, terjadi peristiwa yang mengubah semua rasa benci Amel pada Kak Eli. Saat sedang mencari kayu bakar di ladang, Amel terjatuh. Kakinya terkilir. Kak Eli lalu membawa Amel pulang, menggendong dipunggungnya. Beberapa kali Kak Eli terjatuh. Setiap kali terjatuh, dia selalu berusaha jatuh ke arah depan, memastikan Amel aman dalam gendongannya. Luruhlah semua rasa benci Amel. Tahu lah dia bahwa kak Eli menyayanginya.

Amelia, punya sebuah ide besar untuk kampungnya. Karena idenya itu, dia menjadi peserta termuda dalam pertemuan tetua kampung. Karena idenya itu, dia harus berkeliling dari rumah ke rumah, memberikan penjelasan pada semua warga. Penerimaan, penolakan, bahkan diusir sebelum melangkah melewati pintu rumah, diterimanya dengan lapang dada. Dia dan teman-temannya tak pernah menyerah.

Amelia, selalu bingung jika ditanya apa cita-citanya. Selalu tak bisa menjawab jika ditanya soal kelanjutan pendidikannya. Terbelenggu oleh asumsi bawa anak bungsu adalah penunggu rumah. Anak yang harus tetap berada di kampung, menemani masa tua kedua orang tuanya. Amelia, tentu saja punya mimpi untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh. Namun, kembali perasaan “si bungsu penunggu rumah” mengganggunya.

***

Seperti juga buku Pukat yang sudah selesai saya baca, kisah Amelia ini pun tak kalah menariknya. Mengingatkan jaman kecil dikampung.

Namun ada satu hal yang saya rasakan janggal. Dalam buku Amelia ini, dikisahkan saat Eliana sudah bersekolah SMP di kota kabupaten, dia punya beberapa bulan sekali, naik kereta api. Sementara dalam buku Pukat, dikisahkan kalau eliana pulang seminggu sekali, setiap sabtu siang, dengan menumpang angkutan Colt.

Baca yang ini juga

9 thoughts on “Amelia

  1. “Tere Liye” Kata-katanya selalu menggoda untuk membaca sampai dengan selesai. Hihii… Saya belum baca yang ini, tetapi punya buku yang kumpulan cerpen “Sepotong hati yang baru” Dan Jatuh cinta sama tulisannya hehehe

  2. Resensi yang keren Jeng Naniek, yang ini belum baca. Baru buku Daun Jatuh tak Menyalahkan Angin juga Negeri para bedebah. Karya TereLiye memikat ya
    Salam

  3. Betul pak.
    Cuma mengernyitkan dahi sebentar pas sampai pada bagian itu, sambil bergumam ” Kok… kayaknya dibuku pertama nggak gini” tapi ya terus lanjut lagi membaca 🙂

  4. Pingback: Eliana | Catatan Kecil Keluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: