Eliana, buku karya Tere Liye, diterbitkan oleh Republika menjadi menu bacaan saya selanjutnya setelah menamatkan Pukat dan Amelia. Bukunya lebih tebal jika dibandingkan dengan dua buku sebelumnya yang sudah selesai saya baca.
Eliana, si sulung yang pemberani. Di bab pertama sudah ditunjukkan bagaimana keberanian Eli, demikian ia biasa di panggil, kala menerobos masuk ruang pertemuan, dan berteriak lantang “Jangan hina bapakku”. Kala itu sedang berlangsung pertemuan antara perwakilan kampung, pejabat kabupaten dan pengusaha tambang yang ingin menambang pasir di sungai kampung Eli. Secara tak sengaja, dari luar ruangan, dia mendengar kalau keluarganya “dilecehkan” oleh si pemilik tambang karena miskin.
Tulisan tentang keberanian Eli menerobos masuk dan berteriak lantang “Jangan hina bapakku” ini sukses membuat mata saya jadi berkaca-kaca. Entahlah, saya selalu saja mudah terharu kalau membaca kisah tentang kedekatan seorang anak perempuan dengan bapaknya.
Keberanian Eli juga ditunjukkan kala dia dan ketiga kawannya, yang menyebut diri mereka “empat buntal” nekad menerobos masuk ke area tambang pasir dan bermaksud melakukan perbuatan untuk menunjukkan pada pengelola tambang, bahwa penduduk kampung menentang keberadaan tambang itu.
Sebagai anak sulung yang memiliki tiga orang adik, tentu saja Eli dituntut oleh mamak untuk memberikan contoh yang baik bagi adik-adiknya. Bangun paling pagi dibanding ketiga adiknya, lalu sibuk di dapur membantu mamak menyiapkan sarapan. Membersihkan rumah, mencuci, mencari kayu bakar, membantu memasak dan tentu saja mengawasi ketiga adiknya, adalah pekerjaan yang sering dilakukan Eli. Walau begitu, tetap saja Eli sering kena sasaran amarah mamak. Adik-adiknya yang berulah, kenapa pula Eli yang dimarahi? Dia sering memprotes, namun hanya dalam hati.
Eli sampai punya perasaan bahwa mamak membencinya. Lihatlah, ketiga adiknya asyik bermain, sementara dia harus menyelesaikan banyak pekerjaan. Lihatlah, adik-adiknya yang berulah, dia yang kena sasaran amarah mamak. Puncaknya, Eli kabur dari rumah. Dipicu suatu kejadian, karena kelalaian Eli yang membuat mamak sangat marah. Tapi mamak tak memarahi Eli, mamak hanya diam saja. Mamak mengacuhkannya, Mamak tak mau menyapanya. Merasa tak tahan didiamkan terus oleh mamak, Eli memilih pergi.
Eli kabur ke rumah Wak Yati, budhenya. Dalam pelariannya inilah, akhirnya, walau kadang masih ada penyangkalan dalam hati, Eli menyadari betapa besar kasih sayang mamak padanya. Serepot apapun mamak, tiap pagi selalu tersedia sarapan untuk keluarganya. Sementara di rumah wak yati, tak ada. Sebanyak apapun pekerjaan mamak, kala Eli pulang sekolah sudah tersedia makan siang. Sementara di rumah wak yati, Eli harus memasak dulu kalau ingin makan siang. Selelah apapun mamak, tiap pagi Eli mendapati pakaiannya sudah rapi dalam lemari, sementara di rumah wak Yati, Eli harus mencuci sendiri.
Pada akhirnya, Eli menyadari betapa besar kasih sayang mamak padanya. Kala ia mendapati suatu malam, mamak ke rumah wak yati, bertanya pada wawak apakah Eli sudah makan, apakah Eli baik-baik saja. Ternyata, selama dalam pelariannya, setiap malam mamak menengoknya, tentu saja tanpa sepengetahuan Eli, dan memastikan bahwa Eli baik-baik saja. Jadi, walau dalam diam, walau tak pernah bilang “mamak menyayangimu”, mamak selalu punya rasa sayang pada anak-anaknya. Mamak selalu menunjukkan rasa sayang itu dalam perbuatannya.
Masih ada beberapa kisah lagi tentang keberanian Eli dalam buku ini. Karena memang bukunya tebal. Tapi tentu saja tidak bisa dituliskan semua disini.
Secara ringkasnya, saya senang membaca buku ini. Pelajaran terbesar adalah, saya semakin merasa bersalah pada ibu saya. Bagaimanapun, ibu pasti sangat menyayangi saya, tapi saya masih sering mengabaikannya. Pelajaran kedua adalah, saya jadi pengen terus dan terus berusaha menjadi ibu terbaik bagi kedua anak saya. Pengen mencontoh semangat mamak. Selalu menjadi yang pertama dan terakhir dalam setiap hal. Pertama bangun dan menyiapkan segala keperluan anak-anak. Terakhir tidur, kala anak-anak sudah lelap. Nah, yang ini saya belum bisa. Seringnya saya tertidur duluan, sementara anak-anak masih saja asyik bermain atau nonton TV.
Ada beberapa kalimat yang saya suka dalam buku ini.
Pertama
Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta serta rasa sayangnya kepada kalian
Kedua
Jangan bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih karena sejatinya kemuliaan tidak pernah tertukar.
Favorit ni mbak buku tere liye, walaupun untuk anak-anak saya juga suka baca hehe
banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik juga oleh orang dewasa kok mbak