Genap dua bulan sudah saya berkeliling kota. Berkunjung ke SMK dan berinteraksi dengan para guru disana. Namanya bertemu dengan banyak orang, pasti banyak hal yang bisa saya peroleh. Ada yang positif, ada pula yang negatif menurut pandangan saya. Bisa jadi yang negatif menurut saya itu biasa saja, atau malah positif menurut orang lain. Beda kepala bisa beda pandangan. Jadi, ijinkan saya menuliskan berdasar pandangan saya.
Seusai pelatihan peserta akan mendapatkan pengganti biaya transport yang telah mereka keluarkan. Jadi biasanya peserta menggunakan uang pribadi dulu untuk membeli tiket berangkat ke lokasi pelatihan. Kalau sesama di Jawa sih mungkin tak masalah, karena pagunya adalah angkutan darat. Tapi kalau sudah antar pulau, pastinya menggunakan pesawat. Nah, biasanya, bendahara akan mengecek kebenaran tiket pesawatnya. Apakah harganya sesuai dengan yang dikeluarkan oleh maskapai, atau ada rekayasa antara agen tiket dengan pembeli.
Nah, beberapa hari sebelum penutupan, bendahara mengecek tiket para peserta, untuk menyiapkan uang pengganti transportnya. Kagetlah si bendahara ini, karena harga yang tertera di tiket berbeda dengan yang tercantum di web maskapai. Sang bendahara pun berinisiatif untuk menghubungi agen tempat peserta membeli tiket. Hasilnya? Menurut agen, memang peserta yang meminta supaya harga yang tercantum di tiketnya dibuat lebih mahal dari harga sebenarnya.
Mirisnya, para pelaku ini adalah para guru. Guru yang diharapkan perilakunya bisa ditiru oleh murid-muridnya, juga oleh masyarakat sekitar. Guru yang diharapkan tutur katanya bisa di iyakan oleh murid-muridnya. Jikalau guru sudah berlaku memanipulasi harga tiket untuk kepentingannya sendiri, hal apa yang bisa ditiru oleh anak didiknya? Ada pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jadi anak akan menirukan sang guru, bahkan tingkat peniruannya melebihi apa yang gurunya lakukan. Jika untuk hal yang positif, pasti kita akan turut senang. Tapi jika yang ditiru adalah hal yang negatif? Miris sekali bukan?
Kembali pada kasus diatas, Kepala sekolah yang kebetulan sekolahnya di pakai untuk pelatihan pun mengambil langkah tegas. Beliau melaporkan kasus ini ke instansi diatasnya. Beliau juga merekomendasikan agar para pelaku tidak dipanggil lagi dalam kegiatan lanjutan dan menghentikan partisipasi para pelaku saat itu juga. Perlu diketahui bahwa pelatihan ini berlangsung selama satu tahun, dengan rangkaian kegiatan on-in-on-in. Saat fase on, peserta belajar sendiri dilokasi (sekolah) masing-masing. Ada guru (senior) pembimbing yang bisa dijadikan tempat bertanya jika mereka mengalami kesulitan. Saat fase in, mereka dari berbagai sekolah akan dikumpulkan dalam satu lokasi, belajar bersama selama 2 bulan.
Jika kepala sekolah merekomendasikan mereka untuk dikeluarkan dari kegiatan ini, tentu saja para pelaku sudah rugi banyak. Rugi waktu selama hampir setengah tahun. Nama mereka pun pasti akan mendapat catatan yang tidak baik dari dinas pendidikan. Bisa jadi, tak akan mendapat prioritas jika ada pelatiha/kegiatan lagi. Niatnya ingin mendapat materi yang tak seberapa, tapi dampaknya ternyata besar dan malah merugikan mereka sendiri.
Semoga saja, kejadian seperti ini tidak terjadi di daerah lain. Semoga para guru bisa menyampaikan apa adanya, tanpa perlu manipulasi data disana sini.