28 Agustus 2010

Bertepatan dengan bulan Ramadhan, entah hari yang ke berapa. Sudah 2 minggu aku cuti melahirkan. Menurut perkiraan bidan, anak keduaku akan lahir tanggal 22 agustus. Namun ini sudah telat seminggu, dan belum ada tanda-tanda dia akan terlahir. Aku tetap bersabar menunggu tanda-tanda itu.

05.00

Aku terbangun. Seperti biasa, rutinitas setelah bangun tidur adalah ke kamar mandi. Pagi itu ada noda darah di celana dalamku. Sedikit panik karena ada pendarahan, segera aku bilang pada suami. Suami lalu menelpon taksi dan kami berkemas, bersiap menuju klinik bersalin. Beberapa lembar baju, handuk, kain selendang, popok bayi, gurita kami bawa. Untung ada ibu di rumah, jadi babang bisa ditinggal bersama neneknya.

Sampai di klinik langsung di suruh masuk ruang bersalin, diperiksa. Buka dua, kata bu bidan. Masih lama, masih bisa dipakai beraktifitas. Tapi karena ada pendarahan dan sudah telat seminggu dari perkiraan, bidan membuat surat rujukan ke dokter untuk USG. Dokternya praktek malam hari setelah buka puasa. Akhirnya kami pun pulang lagi. Tas berisi pakaian kami tinggal, sekalian pesan kamar, siapa tahu siang nanti ada perkembangan.

18.00

Usai magrib, saya dan suami pergi ke tempat praktek dokter sesuai rujukan dari bidan. Karena tidak mendesak, kami pilih naik angkot saja. Berjalan bergandengan keluar kompleks rumah menuju jalan raya. Belum keluar kompleks, tiba-tiba saya merasakan pinggang bagian belakang saya sakit sekali. Saya perlu berhenti sejenak, mencengkeram tangan suami dan meringis kesakitan. Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu hilang. Kami lanjutkan berjalan lagi. Tak berapa lama, rasa sakit itu datang lagi. Ini pertanda bayinya udah mau keluar kali ya, begitu pikir saya dan suami.

18.35

Sampailah kami di tempat praktek dokter, dokternya belum datang. Sudah ada beberapa pasien menunggu. Kami pun mengambil tempat duduk. Selama menunggu kedatangan dokter, yang saya rasakan lamaaaaaaaa sekali, rasa sakit di pinggang bagian belakang saya semakin sering datang. Saat rasa sakit itu datang, saya minta suami mengurut pinggang saya, sementara tangan satunya saya genggam erat (lebih tepatnya sih, saya cengkeram). Saya duduk sambil menggeliat-geliat, memejamkan mata, berharap rasa sakit itu segera pergi. Saat sakitnya hilang, barulah saya bernafas lega. Tapi ini tak berlangsung lama. Rasa sakit itu datang lagi dan saya harus meringis-ringis menahannya.

19.00

Dokter datang. Ada satu pasien masuk, sesama wanita hamil juga (ya iyalah, namanya juga dokter kandungan). Menurut perasaan saya lama sekali dia di dalam. Udah emosi aja, ngapain aja dia di dalam.

Akhirnya dia keluar juga, pas dengan hilangnya serangan rasa sakit di pinggang. Saya pun bangkit menuju ruang periksa. Berbarengan dengan seorang wanita hamil lagi yang ingin masuk. Padahal dia datangnya belakangan, enak aja mau nyerobot antrian. Kontan aja saya dan suami melotot ke arah wanita itu, yang untungnya tahu diri, lalu kembali ke tempat duduknya. Kalau tidak, bisa jadi ribut deh.

Sampai di dalam, kami tunjukkan surat rujukan dari bidan. Dokter lalu mempersilakan saya berbaring, lalu dimulailah proses USG. Di dinding samping dipan ada layar monitor yang memperlihatkan posisi janin dalam perut saya. Dokter menunjukkan ini itu bagian tubuhnya, tapi saya nggak ngerti dan nggak ngeh, karena yang saya lihat hanya gambar buram.

Usai USG, dokter menerangkan bahwa posisi janin saya sedikit bermasalah. Kepalanya sudah di bawah, namun dia tengkurap. Padahal seharusnya dia telentang. Cairan pelindung di sekitarnya sudah hampir kering. Jadi harus dilahirkan malam ini juga. Kalau sampai besok pagi si jabang bayi tidak keluar juga, terpaksa diambil tindakan.

Setelah itu dokter mengajak ngobrol suami, tentang asal usul, pekerjaan dan banyak lagi. Saya duduk diam aja di samping suami, sesekali menegakkan badan dan menggeliat saat serangan rasa sakit datang. Saya rasakan sakitnya durasinya makin lama, dan makin sering datang. Beberapa kali saya colek suami untuk segera pamit keluar. Beberapa kali dokter melirik saya saat saya menegakkan tubuh dan meringis menahan sakit. Tapi tak ada komentar, mereka tetap saja asyik ngobrol. Dasar para lelaki!

Tak tahan, akhirnya saya memotong pembicaraan mereka. Pak dokter malah ketawa, lalu bilang “Sakit ya?” Saya mengangguk, padahal dalam hati dah jengkel banget, udah tahu orang kesakitan malah diketawain. Dokter itu lalu bilang, mungkin bayinya lagi muter, benerin posisinya dan mengingatkan bahwa rasa sakit ini akan terus datang berulang. Jangan di lawan rasa sakitnya, nikmati saja katanya. Hah, bagaimana bisa menikmati rasa sakit???

Lalu kami dipersilakan untuk keluar. Rasanya saya sudah tak kuat berdiri. Dengan berpegangan pada suami kami keluar. Saya lalu telpon taksi, tak mau saya naik angkot dalam kondisi sakit begini. Pengen rasanya segera berbaring.

19.40

Sampailah kami di klinik tempat bidan yang kami datangi tadi pagi. Sepanjang perjalanan, saya duduk diam, bersandar dan menahan rasa sakit.

Suami menyerahkan surat rekomedasi dari dokter ke petugas jaga. Bu bidan masih tarawih, jadi kami di minta menunggu. Kamar saya sudah siap, jadi saya langsung aja minta masuk kamar. Tak tahan ingin segera berbaring. Serangan rasa sakitnya semakin kuat. Pinggang saya rasanya mau patah. Persendian kaki lemas. Saya bolak balikkan badan di tempat tidur, telentang, miring kiri, miring kanan. Tangan berpindah dari perut ke pinggang. Sakitnya minta ampun. Pengen rasanya tengkurap.

Bidan belum juga selesai tarawih. Suami dapat telpon dari paman, dan asyik mengabarkan bahwa anaknya sebentar lagi lagi, ketawa-ketawa pula. Hoi……. sadarlah ada orang lagi kesakitan di sini!!!! Dan, malam ini pertama kalinya saya membentak suami, untuk mematikan hp nya. Maaf ya bang, kondisinya darurat 🙂

Saya merasa ingin kencing, tak bisa di tahan lagi, akhirnya kencinglah saya di kasur. Suami melotot, tapi saya cuek saja. Orang sakit kan nggak sempat lari ke kamar mandi. Suami keluar kamar, memanggil petugas. Ternyata bidan juga sudah selesai tarawih. Dia ikut menengok ke kamar. Rupanya itu bukan air kencing biasa, tapi air ketuban. Saya lalu di minta pindah ke kamar bersalin. Saya segera bangkit, berlari menuju kamar bersalin. Bidan dan petugas klinik ketawa-ketawa melihat saya berlari.

Saya segera berbaring lagi, bidan mengatur posisi saya. Memberikan instruksi apa yang harus saya lakukan. Suami mencium kening saya, memberi semangat agar saya kuat. Dia hendak keluar dari kamar bersalin, tapi di larang oleh bidan. Bidan menyuruh suami menopang punggung dan kepala saya. Bidan memberi instruksi jika rasa sakit itu kembali datang, saya harus mengejan.

Maka saat rasa sakitnya datang, saya pun mengejan sambil berteriak. Rasa sakitnya hilang, tapi kok bayinya belum keluar juga. Napas saya sudah ngos-ngosan. Saya tetap mengejan. Tapi bidan menyuruh saya berhenti, dan mengingatkan sekali lagi, bahwa saya hanya boleh mengejan saat rasa sakit itu datang. Saya mengatur napas, bersiap menyambut rasa sakit itu, bersiap mengejan lagi. Belum lagi napas saya teratur, rasa sakit itu pelan-pelan datang kembali. Saya pun berteriak dan mengejan kuat-kuat. Saya rasakan ada yang keluar dari jalan lahir saya. Banyak… banyak sekali yang keluar. Setelah itu, tak ada lagi rasa sakit, yang tersisa hanya rasa lelah. Badan saya lemas

Saya lirik jam, jam 20 lewat. Bayi saya pun lalu dibersihkan. Di bedong agar hangat

*****

28 Agustus 2012

Hari ini dd, genap berusia 2 tahun. Tak ada lilin, tak ada kue ulang tahun, tak ada pesta. Hanya doa… doa… dan doa.

Pagi ini, Nayla Khairina Rahma, bertambah usia. Tetaplah ceria anakku. Pandanglah dunia luas, reguk segala pengetahuan, serap sebanyak-banyaknya. Teruslah belajar, bertumbuh dan berkembang

Baca yang ini juga

12 thoughts on “Mengenang Kelahiran dd

  1. Slamat ultah ya Nayla.. yg sayang ama dedeknya ya…

    Mbak, baca postingan mbak, bikin takut.. tapi pengen jg segera hamil.. campur aduk rasanya… 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: