Kuliner Khas Daerahku Bernama Masakan Ibu

Suatu kali, seorang anak pulang dari perantauan. Lama tak bertemu dengan kedua orang tuanya, ada rindu diantara mereka. Sang anak pun lalu mengajak kedua orang tuanya makan di luar. Di warung makan yang cukup terkenal di daerahnya. Warung makan yang sering dilewatinya kala kecil dulu. Warung makan yang hanya mampu dia pandang dari jauh, karena untuk masuk ke situ tentu saja dia tak ada uang.

Kini dia sudah bekerja. Walau belum mapan, tapi ada lah sedikit tabungan untuk menyenangkan hati kedua orang tuanya. Dengan mengajak kedua orang tuanya makan di sana, dia ingin melihat mereka berdua bahagia. Dia ingin menunjukkan, bahwa dia kini bisa dan mampu mengajak keduanya menikmati aneka makanan dari warung manapun yang diinginkan kedua orang tuanya.

Makanan pun dihidangkan. Mereka makan sambil berbincang, melepas rindu karena lamanya perpisahan.

Keesokan harinya, belum juga adzan subuh terdengar, dia mendengar suara keok-keok ayam kampung peliharaan orang tuanya. Karena masih mengantuk, tak digubrisnya keributan yang ada di belakang rumah.

Dan pagi ini, alangkah terkejutnya dia kala melihat di meja makan, telah terhidang makanan seperti di warung kemarin. Rupanya ibunya diam-diam telah memasak untuknya, masakan yang sama dengan menu di warung makan yang cukup terkenal itu.

Kenapa ibu masak menu kayak gini? Kan kita kemarin sudah makan masakan ini?

Nduk, lain kali kalau pengen makan sesuatu bilang aja. Ibu akan masak buat kamu. Sayang uangnya kalau dipakai makan di warung, lebih baik ditabung. Lagian menurut ibu, masakan di warung kemarin itu nggak begitu enak. Udah gitu mahal pula.

***

Itu kejadian yang sudah lama sekali. Kejadian yang akan terus saya ingat. Kejadian itulah yang membuat saya tak lagi berselera untuk keliling sekedar kulineran di daerah asal saya. Walau banyak yang menginfokan warung-warung baru ataupun lama yang menyajikan aneka menu tradisional yang konon katanya rasanya ueenak sekali, saya menahan diri untuk tak ke sana. Semuanya demi menghargai ibu. Ibu yang selalu semangat memasak kala kami anak cucunya pulang. Ibu yang merelakan ayam peliharaannya di potong lalu, lalu kami nikmati bersama-sama.

Karena bahagianya ibu adalah kala anggota keluarganya kekenyangan sehabis menyantap masakannya. Lelahnya dalam mempersiapkan bahan dan juga bumbu, mengolah lalu menyajikan seolah menguap entah kemana. Meski setelahnya masih harus berhadapan dengan perabot dan tumpukan piring kotor, semua dikerjakan dengan hati riang. Karena anak cucu sudah kenyang, dan masakannya habis tandas.

Sebaliknya, beliau akan sedih dan tampak raut kecewa di wajahnya, kalau mengetahui ada anak cucunya yang pulang dalam keadaan kenyang karena sudah mampir di warung.

Saat mudik, kami pun mengusahakan untuk tak banyak keluar rumah. Walau banyak obyek wisata baru di jogja ataupun solo yang bisa saja kami kunjungi kalau mau menyempatkan diri. Tapi kami memilih di rumah. Alasannya adalah demi membahagiakan kedua orang tua. Kami pulang bukan untuk kulineran ataupun berwisata, kami pulang untuk melepas rindu pada orang tua. Kami pulang untuk menuntaskan rasa rindu orang tua pada anak cucunya.

Ada pengalaman juga berkaitan dengan nggak mau banyak keluar rumah kala mudik?

Ada.

Suatu kali saya ada tugas ke jogja, sekalian aja bawa suami dan anak-anak pulang ke klaten. Kami sampai di klaten pukul 3 dini hari. Dan jam 6 pagi saya sudah harus berangkat ke jogja agar tak ketinggalan acara. Waktu saya bilang ke orang tua bahwa pagi-pagi saya harus berangkat ke jogja, ada gurat kecewa di wajah mereka. Disusul pertanyaan

“Tapi anak-anak nggak di bawa kan? Kami masih kangen”

Itulah latar belakangnya. Waktu 2 atau 3 hari di Klaten, bahkan sampai seminggu pun, kami lebih banyak di rumah. Puas-puasin makan masakan ibu. Puas-puasin lihat kedua orang tua bercanda dengan cucu-cucunya. Karena bahagianya mereka adalah saat berkumpul dengan anak cucunya. Tak harus di restoran mahal ataupun tempat wisata yang pasti ramai sekali kala musim liburan. Yang justru akan membuat mereka capek bahkan sedari masih dalam antrian menuju lokasi wisata. Bukan berarti kami sama sekali nggak keluar rumah lho. Kadang kami pagi-pagi ke pasar, beli aneka jajanan pasar, lanjut mancing di sungai dekat pasar. Nanti kalau perut sudah terasa lapar, barulah kami pulang.

Baca yang ini juga

15 thoughts on “Kuliner Khas Daerahku Bernama Masakan Ibu

  1. Bener banget tuh mbak, tapi klo orang tua saya seh gak harus selalu di rumah. Liat sikon juga.

    Pernah sekali waktu saya bisa lihat wajah papa saya seneng banget ketika akhirnya bisa nengajak cucunya main air di sungai yang sering beliau ceritakan. Tempat beliau main air sewaku kecil. Kemudian makan-makan di rumah makan yg ada di tepi sungai deh..abis makan, pulang trus pada tepar deh kecapekan hehe

    1. wisata murah meriah dan membangkitkan kenangan masa kecil ortu jadinya ya mbak. Pasti bahagia banget beliau bisa menunjukkan tempat mainnya waktu kecil pada cucunya

  2. masakan ibu, emang paling super duper top markotop mbak. Ahh, jadi kangen sama masakan ibu 🙂

  3. Luar biasa ya kepekaan seorang ibu. Ketika anaknya ngajak kulineran, langsung paham kalau si anak rindu dg masakan ibunya. Moga sehat2 semuanya ya, mba 🙂

  4. wah makasih udh ngingetin saya ya mba..dulu pas plg kampung sy suka penasaran pgn kulineran ngajak org tua dengan tujuan pgn nyenengin..pdhl waktu mepet..padahal sebenernya orgtua lbh bahagia kalo anak2nya ngumpul n makan bareng di rmh saja drpd jalan2..tfs mba nanik 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: