Sabtu Minggu, saatnya mendampingi anak-anak bermain dan belajar. Kali ini fokus kegiatannya ada di dapur.
Hari jumat, dd bilang kalau besok pengen dimasakin telur puyuh bumbu kecap. Saya menyanggupi dengan syarat dd harus membantu mama di dapur.
Sabtu pagi, saya ajak dd ke pasar. Saya antar ke penjual telur puyuh. Saya berdiri disamping dd, uang sudah saya serahkan ke dd. Saya minta dd yang membeli sendiri telur puyuhnya. Tadinya masih “ngulat ngulet” bilang mama aja yang beli. Tapi saya tetap menggeleng. Saya bilang kalau ini kan dd sedang belajar, belajar berani membeli sendiri. Untungnya, pas nggak ada pembeli lain. Jadi tak apa kami berlama-lama disitu sampai keberanian dd muncul. Mbak penjualnya juga ramah, menanyai dd mau beli apa. Dd lalu menunjuk telur puyuh yang sudah dikemas, lalu menyerahkan uangnya. Alhamdulillah proses membeli bahan dasar selesai.
Sampai rumah, telur puyuh saya rebus. Setelah matang dan dingin, saya tugaskan anak-anak untuk mengupasnya. Saat mengupas ini, ada yang mudah, ada juga yang kulitnya lengket, sehingga bagian putih telurnya menempel di kulit.
“Ma, putihnya ada yang ikut terkelupas” kata babang.
“Ya nggak apa-apa, kan cuma sedikit. Biarin aja kalau susah” Saya tetap menyemangati
“Ma, ini boleh dimakan?” kata babang lagi
“Boleh”
“Tapi belum dimasak kecap”
“Nggak apa-apa, ini kan sudah direbus, sudah matang”
Jadi begitulah, setiap ada telur yang dikupas dan hasilnya nggak mulus, langsung dimasukkan ke mulut. Kadang si dd menyengaja ada bagian putihnya dikelupas, supaya bisa dimakan. Lantas tertawa-tawa senang karena merasa bisa mengakali saya.
Akhirnya beres, semua telur sudah dikupas kulitnya. Walau hasilnya jadi banyak berkurang jumlahnya, tapi tak apa-apa lah. Asal anak-anak tetap ceria.
Selanjutnya adalah tugas saya memasak telur puyuh itu. Mereka menunggui dan mengamati bagaimana telur yang tadinya putih berubah menjadi coklat warnanya. Tentu saja, sambil bertanya ini itu.
Telur sudah masak, nasi pun sudah siap. Lanjut dengan sarapan.
Selesai sarapan, babang berinisiatif untuk mencuci sendiri piringnya. Selama ini, babang belum pernah cuci piring. Paling nungguin aja kalau saya cuci piring. Kalau dd sudah sering bantu cuci piring.
Dd lalu menuangkan cairan pencuci piring dalam wadah, dicampur air lalu diaduk. Babang lalu membasahi piringnya, mengusapkan spon yang telah dicelupkan ke dalam wadah berisi cairan pencuci piring. Makin banyak busanya, makin senang dia. Setelah itu babang membilas piring tersebut. Saya mengawasi saja. Usai membilas, lalu ditaruh di bak. Saya perhatikan masih ada sisa busanya. Saya suruh babang mengulangi membilas. Sampai yakin benar-benar bersih.
“Hah, capek juga ya cuci piring. Ini pekerjaan berat” kata babang.
Saya tersenyum saja. Karena baru sekali melakukan, dia menganggap ini pekerjaan berat. Nanti kalau sudah terbiasa juga akan terasa ringan.
Babang lalu ke ruang tengah, “Pa, babang tadi habis cuci piring” saya dengar dia melapor pada papanya.
***
Setelah kejadian cuci piring disabtu pagi itu, babang jadi rajin membantu cuci piring lho. Tiap habis makan, dia berinisiatif mengajak dd untuk berdua mencuci piring. Saya berdiri aja dibelakang mereka mengawasi. Supaya benar-benar bersih sehingga saya tak perlu mengulangi membilas lagi