Melatih Anak untuk Hidup Adaptif

Suatu kali, tetangga saya berucap begini

“Anak sekarang itu terlalu dimanja, apa-apa dituruti, nggak pernah diajari hidup susah”

Ucapan itu, ditujukan pada cucunya, yang menurut pengamatannya terlalu dimanja. Setiap minta mainan selalu dituruti, minta makan ini itu juga dituruti. Awalnya tetangga saya ini masih suka menegur anaknya, agar tak setiap permintaan cucunya dituruti. Tapi setiap kali menegur, malah sering berakhir dengan perdebatan diantara mereka, akhirnya tetangga saya memilih diam saja, menyimpan kedongkolan. Kalau ada teman ngobrol, barulah dia mengungkapkan kedongkolannya itu, seperti saat ada kesempatan untuk ngobrol dengan saya saat ini.

Saya, seperti biasa, mendengarkan saja. Tak ingin berkomentar apa-apa, karena memang tak tahu benar situasinya seperti apa. Hanya mendengar dari satu pihak, tentu tak fair jika saya lantas memberikan penilaian ini itu. Bagaimanapun situasinya, biarlah ibu dan anak itu yang menyelesaikan sendiri. Saya, sekali lagi, sebatas pendengar. Saya pun tentu saja dapat mengambil pelajaran dari kasus ini.

Saya lalu menengok keluarga saya sendiri, ketiga anak saya. Saya kadang memanjakan mereka. Pergi ke toko buku, saya bebaskan mereka memilih buku yang disukai. Setelah itu mengajak makan diluar, saya bebaskan memilih menu yang diinginkan. Kadang berlaku pula sebaliknya. Mereka ngajak ke toko buku, tak saya turuti karena memang sedang tak ada uang lebih untuk beli buku. Sampai berbulan-bulan, saat ada rejeki lebih, baru saya turuti. Kadang mereka pengen makan diluar, tak saya turuti karena memang isi dompet sedang menipis. Jadinya, ya makan masakan mamanya saja.

Makan di warung vs masak sendiri di rumah

Apakah berarti saya mengajarkan hidup susah?

Saya kok kurang sreg dengan kalimat “mengajarkan hidup susah” ini. Saya lebih sreg kalau diganti dengan kalimat “Mengajarkan anak untuk hidup adaptif”

Hidup adaptif, agar mereka bisa segera beradaptasi dengan perubahan kondisi dalam kehidupannya.

Anak-anak sering saya ajak bepergian naik angkot. Duduk berdesak-desakan, panas, angkotnya sering ngetem sehingga perjalanan jadi lama. Tapi mereka tetap bisa ngantuk dan tertidur dalam angkot yang penuh penumpang.  Anak-anak pun pernah bepergian dengan mobil pribadi, nyaman, bisa sambil ngemil bahkan tidur dengan nyaman. Pun mereka pernah bepergian dengan baik mobil angkutan online, nyaman, lega dan bisa cepat sampai di tujuan.

Panas-panas naik angkot vs sejuk dan nyaman naik mobil pribadi

Anak-anak pernah merasakan tidur di kamar hotel yang nyaman, ada bath tub di dalam kamar mandi, bisa berendam dan bermain air sampai berulang-ulang. Mau makan, tinggal pesan dan makanan diantar ke kamar. Seharian bermalas-malasan, nonton televisi dengan banyak pilihan saluran. Mereka juga pernah saya ajak menginap di gubuk di tengah sawah. Dalam gubuk berukuran 3×2.5 m, tidur berdesak-desakan, tak ada televisi, tak ada listrik, tak ada handphone.

Anak-anak pernah tinggal di kontrakan yang ukurannya kecil. Mainnya ya di situ-situ aja, keluar kamar ketemu ruang tamu dan dapur dalam beberapa langkah. Mau ngambil apa-apa dekat, ngomong pun pelan-pelan sudah bisa terdengar dari ruangan lain. Anak-anak juga pernah tinggal di kontrakan yang rumahnya besar. Kalau satu di dapur, satu di ruang tamu, maka harus berteriak agar bisa saling mendengar. Mereka bisa lari-larian, bahkan bermain bola di dalam rumah.

Anak-anak bisa santai, habis makan piring taruh aja di tempat cuci piring. Baju kotor taruh di mesin cuci. Tak perlu nyapu rumah karena ada ART. Namun saat tak ada ART, mereka bisa cuci piring sendiri, bisa mengoperasikan mesin cuci, bisa jemur baju dan angkat jemuran yang sudah kering. Mereka bisa menyapu dan ngepel rumah. Semua kami kerjakan bersama.

Intinya sih, saya pengen anak-anak itu nggak kagetan, nggak gumunan. Naik mobil oke, naik angkot ya ayuk aja. Makan sama ayam bakar mau, makan sama tempe goreng pun tak masalah. Tinggal di rumah yang besar alhamdulillah, tinggal di rumah sempit juga bisa.

Ketrampilan hidup adaptif ini menurut saya kok penting bagi mereka. Saat dewasa kelak, mereka tak akan terlalu kaget saat ada perubahan dalam kehidupannya. Karena roda kehidupan itu kan berputar, kadang diatas, kadang dibawah

Baca yang ini juga

36 thoughts on “Melatih Anak untuk Hidup Adaptif

  1. Hidup adaptif, setuju mbak. supaya nggak kagetan kalau tibatiba di suatu keadaan yang nggak biasanya ya. bisa buat bekal saya mengasuh anak nanti nih 😀

  2. Iya sih menurut saya juga kurang cocok kalo dibilang anak² sekarang nggak bisa diajak hidup susah. Lah susah itu kan kadarnya berbeda-beda ya mbak. Aku juga suka tuh ajak si kecil naik transjogja, ada pernah ibu-ibu generasi diatasku bilang “anak kecil ga akan paham diajari naik angkutan umum”. Saya diemin aja krna males debat. Tapi bagi saya sih anak pasti tau karena kan suasanya berbeda ketika naik angkutan umum dan angkutan pribadi. Salam kenal ya mbak

    1. salam kenal kembali mbak Niken.
      Kalau dengerin omongan orang sih nggak bakal ada habisnya mbak, jadi ya fokus aja pada pilihan kita. Karena tiap keluarga kan punya pilihan dan aturan sendiri

  3. Sepakat Mba, anak-anak harus bisa hidup adaptif tapi bukan berarti membuat mereka hidup terbatas ketika kedua orang tuanya mampu, apalagi di usia dini. Hal yang saya inginkan untuk anak-anak saya kelak adalah bahwa mereka tidak canggung ketika berada di situasi wah seperti diundang ke acara yang diadakan di hotel bintang lima tapi tidak malu dan ragu ketika makan di tengah sawah. Naik kendaraan pribadi bisa dan naik angkutan umum pun tahu rute dan nyaman, Khusus soal angkutan ini, ada kenalan saya agak gagap dengan angkutan umum dalam kota karena sejak usia sekolah sudah biasa kemana-mana diantar/dengan kendaraan pribadi jadinya pas harus naik KRL atau Transjakarta suka kebingungan sendiri. Semoga anak-anak kita nantinya bisa beradaptasi dengan lihai di segala situasi ya Mba.

  4. Aih sepakat banget sama tulisan ini, mbak. Saya juga nggak mau ngajarin anak hidup susah, maunya hidup adaptif aja. Mereka harus bisa beradaptasi dalam kondisi kehidupan seperti apa pun. Saat di atas nggak jumawa, saat di bawah juga nggak ngedrop. Mereka harus jadi anak-anak yang tahan banting dan mampu hidup dalam kondisi terberat sekalipun.

  5. Aahhh sepakat banget dengan tulisan ini, Mbak. Emang penting banget mendidik anak-anak untuk bisa hidup adaptif, ya.
    Kalau saya sendiri, masih dalam proses berusaha seperti itu. Anak-anak saya (yg masih kecil-kecil semua) kadang suka pengen yang enak-enak saja. Misal baru beberapa kali nginep di hotel, trus pengennya sering-sering bobo di hotel. Hehehe.

    1. hehehe… orang tuanya mesti sering-sering kasih pengertian. Coba aja di ajak ke hotel sekelas losmen gitu mbak, biar mereka juga terbuka wawasannya tentang macem-macem kelas hotel

  6. setuju, mba. anak-anak emang harus kita bimbing supaya bisa mudah beradaptasi dengan keadaan apapun.
    aku juga gitu, kalau traveling pernah naik pesawat, pernah juga naik kereta ekonomi, dan pernah juga naik bis ekonomi dan nggak dapat tempat duduk. hehehehe….

  7. Oke noted, mbak.
    Mengajarkan hidup adaptif.
    Bener-bener. Supaya mereka juga bisa bertahan saat (mungkin suatu saat) orang tuanya tumbanh dalam hal ekonomi.
    Share menarik, mbak.

  8. Mengajarkan anak beradaptasi memang tergantung orang tuanya ya Mbak. Seberapa konsisten mereka ketika anak-anak tidak selalu menerima didikan dari orang tua. Tentunya butuh komunikasi yang mereka mengerti ya. Mengajarkan anak beradaptasi dalam segala sesuatu menurutkan adalah hal yang paling ensensial dalam life-skill. Bukan ngajarin mereka hidup susah 🙂

    1. iya mbak, harus dipertimbangkan pula orang-orang disekitar anak-anak. karena bisa jadi perkataan/perbuatan orang-orang disekitarnya (selain orang tua) juga mempengaruhi pandangan mereka

  9. Sukaaaa sekali sama tulisan ini mbak, mengajari anak hidup adaptif. Peka terhadap segala situasi yang akan buat anak-anak bisa bertahan hidup, bukan mengajari hidup susah. Pokoknya sepakat mbak 👍

  10. Aku setuju dengan hidup adaptif mba. Walau punya kendaraan sendiri aku juga sering naik angkutan umum ngajak Jasmine, berpanas-panas dan berdesak-desakan ria. Tujuannya si untuk mengenalkan dunia yang sesungguhnya. Hehe…..

  11. Aku pun kurang setuju nih kalau harus dibilang seperti itu. Aku lebih senang membiasakan anakku hidup apa adanya dan tak berlebih. Alhamdulillah anakku juga misal dibilang gak boleh, dia gak bakal marah atau tantrum.

  12. Yap. Kemarin saya ajak Zril naik angkot. Hihi seru. Dia diem ajah…bingung mungkin, kok goyang2 mulu. Tapi senang karena bertemu banyak orang baru. Rasanya gerah sih. Senangnya lagi dia gak ngeluh atau rewel. Padahal masih belum 2 th

  13. waah setuju banget mbak sama tulisan ini. kalau saya pribadi, karena dulu ortu mmg sangat biasa saja ekonominya, jadi pas besar saya agak kagetan ketika ketemu fasilitas2 bintang lima. misalnya masuk lift saja bingung karena mesti pakai kartu pass hahaha. tapi ya gimana, dulu ortu mmg ga bisa kasih pengalaman2 seperti itu. tapi bsyukur mereka kasih kesempatan saya sekolah, jadi sekarang sedikit banyak saya bisa kasih pengalaman-pengalaman lebih ke cucu-cucu mereka (anak saya)

  14. Nah ini dia, saya dan suami kadang berselisih tentang ini. Memang kami inginnya mengajarkan anak hidup adaptif tapi suami kadang ada enggak teganya. Masalahnya dulunya dia hidup sangat susah, jadi sekarang dia enggak mau anak-anaknya seperti dia. Maka kadang saya dibilang kelewatan..padahal saya cuma pengin anak mampu hidup dalam kondisi apapun.
    Jadi memang butuh penyesuaian standar antara pasutri untuk masalah pola pengasuhan anak agar adaptif ini

    1. Mbak Dian sama benget ni kayak sayaa.. Suami juga dulu susah, gak pernah dibeliin mainan. Akhrinya pelampiasannya ke anak – anak yang selalu bergelimang mainan.. sementara sayanya pingin anak2 belajar nrimo gak gampang dituruti keinginannya. Yah, semoga saya dan suami bisa bekerjasama mendidik anak jadi adatif..karena adaptif ini termasuk personal skill juga yaa ketika anak – anak sudah dewasa

  15. Anak anak usia >7 tahun memang sudah harus mandiri, tak boleh manja karena ajaran Rasulullah begitu. Tapi kadang kita juga sih yang gak tegaan akibatnya sering menjadi cenderung mau praktis dan gak mau susah ya

  16. Saya termasuk yang agak keras ke anak2, krn gak mau mereka manja, meski usianya masih kecil under 7 yo semua. Org lain pegang gadget, gak dikasi nangis, saya termasuk yang “silahkan nangis, tetep gak boleh”. Hal2 kyk gtu dibutuhkan bahwa gak semua yg mereka minta akan dikasi.

  17. Setuju Mbak, lebih baik mengajarkan anak kita untuk lebih adaptif. Mereka harus bisa bertahan dalam situasi apapun. Karena hidup tidak selamanya enak. Saya dan suami sepakat agar anak bisa lebih mandiri

  18. Setuju mba sama bekal yang diberikan buat anak-anaknya. Aku pun kalau udah punya anak akan melakukan hal yang sama. Buat mereka juga, kelak kalau dewasa pergi berpetualang kemana-mana nggak akan menyusahkan orang di sekelilingnya. 😀

  19. Biasanya yang suka nurutin segala yang dipinta anak tu malah neneknya. Jadi antara nenek, ayah dan bunda tu sering berseberangan, makanya anak jadi bingung juga. Dengan suami memang masih ada beberapa pertentangan, tetapi masih sering bisalah diajak kompromi.

  20. Setuju mba buan ajarkan susah tapi adaptif, akupun begitu mba tapi dari sedini mungkin kuajarkan mandiri semuanya harus bisa sendiri dan menerima tidak panasan sepupunya punya harus punya ow tentu tidak begitu hehhee makanya aku lebih suka anak2 aku ajak bicara jika misalnya tiba2 merengek minta dibelikan yang sama dengan sepupunya kebetulan sepupunya tetangga jadi ya gitulah :p

  21. mengedukasi anak sejak dini penting yah mba, apalagi pola khdpn sosial yg kadang berubah-ubah, biar gk kaget anaknya hrus bljr hdup beradaptasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: