4 September 2009

Entah hari ke berapa di bulan Romadhon. Namun aku tak berpuasa, usia kandunganku sudah tua. Hari Jumat, hari terakhir aku masuk kantor sebelum cuti melahirkan. Perkiraan anakku akan lahir tanggal 6 September, dan sengaja aku ngambil cutinya mepet. Hari ini aku masih ada jadwal ngajar.

05.00

Saat terbangun dipagi hari, seperti biasa, aktivitas pertama adalah ke kamar mandi. Dan betapa kaget pagi itu karena aku mendapati ada darah di celana yang aku kenakan. Segera aku telpon ke klinik tempat biasa aku memeriksakan kandunganku, pihak klinik menyarankan aku untuk segera ke sana. Saat itu suami masih di Bengkulu. Untung ada kedua orang tuaku di rumah. Aku lalu menelpon taksi, dan bersiap-siap menuju klinik.

Sampai di klinik, aku dipersilakan menuju ruang bersalin, setelah di periksa, ternyata buka 2. Kata bu bidan masih lama, sebaiknya aku gunakan untuk jalan-jalan biar pembukaannya cepat.

Karena masih lama, bapak memilih pulang lagi. Sementara aku dan ibu tetap berada di klinik tersebut, ngambil satu kamar sekalian. Males bolak-balik

10.00

Aku kembali di periksa, namun belum ada perkembangan, tetap buka 2. Kembali aku disarankan untuk banyak jalan-jalan di sekitar kompleks klinik. Tapi aku malas, jadi balik lagi ke kamar dan tiduran sambil nonton TV.

13.00

Bidan kembali menyuruhku ke kamar bersalin untuk diperiksa. Masih juga buka 2. Aku disarankan untuk mengkonsumsi minuman bersoda, agar terjadi kontraksi dan diharapkan bukaannya nambah.

Jadilah aku jalan keluar ke toko, beli dua botol minuman bersoda. Dengan harapan si jabang bayi segera ‘berontak’ utuk keluar

17.00

Aku masih merasakan tak ada yang berbeda dengan perutku. Berulang kali ibu bertanya, mulaskah? aku jawab dengan gelengan kepala. Aku kembali di periksa. Nambah 1 bukaannya, jadi 3.

Kebetulan kakakku yang tinggal di sidoarjo datang. Dia menyuruhku pindah ke rumah sakit, dengan harapan aku akan ditangani oleh dokter, bukan hanya bidan seperti di klinik.

Aku tak mau pindah, aku merasa lebih nyaman di klinik, karena sudah akrab dengan bidan-bidan yang ada disitu. Lagipula, dari awal aku periksa kehamilan juga di sini. Pihak klinik juga tidak merekomendasikan aku untuk pindah ke rumah sakit, artinya mereka masih mampu menangani aku.

20.00

Hasil pemeriksaan masih juga sama, bukaan 3. Pihak klinik lalu menjelaskan bahwa bahaya klo dalam 24 jam bayi tak keluar sejak pendarahan pertama. Jadi mereka menawarkan untuk dilakukan tindakan, mereka mengistilahkan dengan diberi drip. Jadi akan diberikan cairan perangsang, agar segera ada kontraksi dan bayiku segera lahir. Kata bidan, akan ada sedikit rasa sakit. Pernah juga denger cerita teman, klo di drip itu rasa sakitnya luar biasa. Aku jadi takut.

Dasarnya aku nggak tahan dengan rasa sakit juga, jadi aku menawar gimana kalau operasi caesar saja. Pihak klinik menjelaskan, klo bisa dilahirkan normal, sebaiknya normal saja. Tindakan operasi itu hanya kalau kondisi terpaksa saja. Jika dengan di beri drip ternyata tak ada reaksi, barulah diambil tindakan operasi. Jadi aku di drip dulu, kalau tak berhasil baru operasi? Kenapa tak langsung operasi saja, pikirku. Aku masih tetap ingin operasi saja.

Pihak klinik lalu berunding dengan ibu dan bapakku. Kakakku sudah pulang. Kedua orang tuaku lalu membujukku untuk dilakukan drip saja dulu. Aku akhirnya mengalah, dan menuruti saran dari pihak klinik

21.30

Aku kembali masuk ruang bersalin. Ibu ikut masuk, sementara bapak menunggu diluar. Bidan membawa sekantung infus. Cairan perangsangnya sekantung, tadinya aku kira aku hanya akan di suntik dengan jumlah cairan yang sedikit. Kalau sekantung begini berapa lama bakal habis. Bisa memakan waktu berjam-jam dong.

22.00

Tiba-tiba aku merasakan sakit sekali pada pinggang bagian belakang. Aku sampai berteriak-teriak. Sejenak rasa sakit itu hilang. Namun tak lama kemudia, rasa sakit itu kembali datang, dan aku kembali menjerit.  Bidan masuk ke ruangan, memeriksa cairan di kantung infus, lalu pergi lagi. Tak ada komentar terhadap rasa sakit yang aku rasakan, padahal aku yakin kalau dia tahu aku sedang kesakitan.

Begitulah gelombang rasa sakit itu makin sering datang. Aku tetap berteriak, miring kiri, miring kanan, menekuk lutut berharap rasa sakit yang membuat pinggangku serasa mau patah itu segera pergi. Ibu menyuruhku diam dan beristighfar, menyebut nama Allah. Begitupun dua bidan yang akhirnya masuk dan ikut menungguiku. Bidan menyuruhku mengambil nafas panjang kala rasa sakit itu datang dan beristighfar. Aku menggigit kain setiap kali rasa sakit datang dan mencoba untuk menuruti perkataan bidan, untuk mengatur napas.

Entah berapa lama rasa sakit itu, hingga akhirnya aku terasa ingin kencing, tapi tentu saja aku rasanya tak sanggup untuk berlari ke kamar mandi. Aku coba menahan rasa pengen kencing itu, dengan napas tersengal aku bilang ke bidan klo aku ingin pipis. Bidan menyuruhku untuk kencing di dipan saja, tak apa-apa. Akhirnya, jadilah aku ‘kencing’ di dipan. Begitu aku selesai kencing, bidan dan asistennya membersihkan dipan yang sebelumnya di beri alas perlak. Setelah itu bidan mengatur posisiku, kaki di tekuk dan mengangkang. Katanya, bayinya akan segera keluar.

Jika rasa sakit itu datang, aku harus mengejan, begitu perintah bidan. Maka, begitu kurasakan sakit, aku mengejan sekuatnya, berteriak keras tentu saja. Setelah tiga kali mengejan, aku rasakan ada yang keluar dari jalan lahirku. Banyak dan keluar secara bergelombang. Aku rasanya tak ada daya, aku pejamkan mata. Samar aku mendengar kata laki-laki dan suara tangisan bayi.

Ibu menepuk-nepuk pipiku. Bidan meyuruhku agar membuka mata, aku tak boleh tidur. Tapi aku lelah sekali, tak ada lagi rasa skit, badanku lemas, aku hanya ingin tidur. Tapi bidan menuruh ibuku untuk menjagaku agar tetap melek.

Aku merasa tubuhku di bersihkan, setelah beberapa kali mengatur napas dan minum rasa lemas di badanku berkurang. Aku lihat jam di dinding, menjelang jam 12 malam.

Begitulah, hari ini aku resmi menjadi seorang ibu

 

4 September 2012

Hari ini si bocah yang lahir tengah malam itu genap berusia 3 tahun. Firstnanda Muhammad Panji Satria, atau biasa di panggil Satria, dan biasa kami panggil Babang genap berusia 3 tahun.

Bayi mungil itu telah tumbuh menjadi bocah lucu dan gendut. Sudah mulai pintar bercerita dan mengungkapkan apa yang dia rasakan. Lincah berlarian kesana kemari.

Teruslah tumbuh anakku, doa mama slalu menyertaimu

 

 

 

Baca yang ini juga

16 thoughts on “Mengenang Kelahiran Babang

      1. iya mbak Nik saya juga merasakan bagaimana plong-nya saat s jabang bayi lahir dengan selamat dan ibunya selamat juga….. sungguh kegembiraan dan kebahagiaan yg gak bisa di rangkai dengan kata kata…

  1. Saya jadi ingat saat melahirkan Risa, labih dari 21 tahun yang lalu, mbak…kita sama, saya juga di-drip soalnya, pecah ketuban tapi saya nggak mules dan otomatis bayinya jua nggak mau keluar…hehe

    reaksi drip saya bukan sakit di pinggang belakng, tapi mules banget di perut bagian bawah. Dan ternyata…tiap bayi katanya punya bawaan sakit yang beda-beda, apalagi anak saya itu berjenis kelamin perempuan 😉

    Babang, selamat ulang tahun ya, smoga jadi anak sholeh yang bermanfaat bagi sesama.
    Amiin…

  2. Melahirkan selalu penuh perjuangan ya mbak….tapi semua rasa sakit hilang setelah dengan suara tangisan anak…

    Selamat ulang tahun ketiga buat Babang ya mbak…sehat selalu, tambah pinter dan ganteng yaaa….

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: