Menjadi Orang Tua Super, sebagai Trainer, Coach dan Terapis

Tak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Namun pengetahuan tak melulu harus diperoleh dari bangku sekolah kan? Ada banyak sarana untuk belajar bagaimana menjadi orang tua. Pelajaran itu dapat saja diperoleh dari pengalaman sebagai anak, dengan mengamati bagaimana orang tua kita dulu memperlakukan kita. Pelajaran itu dapat diperoleh dari buku, dari teman, tetangga, saudara, bahkan dari anak kita sendiri. Iya, anak yang masih kecil itu, kadang secara tak terduga memberikan banyak pelajaran bagi orang tuanya.

Belajar sabar dari bocah 2,5 tahun

Nah, dalam rangka belajar menjadi orang tua yang baik, beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti semacam pelatihan untuk menjadi orang tua super. Tema pelatihannya adalah bagaimana peran orang tua sebagai trainer, coach dan terapis. Biar ilmunya nggak hilang, dan bisa membawa manfaat pula bagi orang lain, saya bagi disini aja ya.

Trainingnya berlangsung secara online selama 3 hari, jadi materinya akan saya tuliskan juga sebanyak 3 seri. Biar yang baca nggak “mabuk” baca tulisan yang terlalu panjang

Kita mulai dari pengertian masing-masing istilah itu.

  • Trainer adalah orang yang memberikan pelatihan berupa pengetahuan dan keterampilan
  • Coach adalah orang yang membantu klien mencapai tujuannya dengan memaksimalkan potensi dari diri klien sendiri. Seorang Coach biasanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai media atau jembatan pencapaian tujuan tersebut
  • Terapis adalah orang yang memberikan terapi kepada kliennya dengan tools tertentu

Persamaan Trainer, Coach dan Terapis adalah ketiganya bertujuan membantu kliennya.

Sedangkan perbedaannya adalah :

  • Kalau Trainer kondisi klien adalah Zero atau netral. Sehingga tugas trainer memberikan skill dan kompetensi.
  • Kalau Coach kondisi klien adalah positif. Karena itu Coach hanya memberikan pendampingan dengan mengajukan pertanyaan sehingga potensi klien semakin muncul dan berdaya.
  • Kalau Terapis, kondisi klien dalam kondisi negatif . Misalnya ada mental blok, trauma, depresi dan lain-lain.

Kalau pengen menjadi orang tua super itu, harus mampu melihat kondisi anaknya. Kapan saatnya dilakukan Training. Kapan saatnya dilakukan Coaching. Kapan saatnya, anak perlu terapi.

Tahap 1 – 7 tahun

Saat anak berusia 1-7 tahun merupakan pondasi anak, sebelum memasuki jenjang berikutnya. Maka, orang tua, lebih banyak berperilaku sebagai Trainer. Trainer bukan sekedar memberikan pengetahuan, namun juga memberikan ketrampilan.  Orang tua memberikan petunjuk baik perilaku maupun nilai-nilai tentang baik dan buruk. Contoh orang tua sebagai Trainer, misalnya mengajarkan anak tentang toilet training. Maka, orang tua harus memberikan detail, cara yang baik bagaimana buang air. Cara cebok, cara membersihkannya, dan lain-lain. Dalam tahap 1-7 tahun, peran orang tua sebagai trainer sangat dibutuhkan.

Melatih anak menyiram persemaian

Tahap 8 – 14 tahun

Saat anak berusia 8-14 tahun, orang tua biasanya lebih banyak menjadi seorang terapis dan coach. Anak pada usia 8-14 tahun syarafnya mulai sempurna. Maka, dia sudah bisa diajak Coaching. Namun, karena masih labil, terkadang banyak mental blok yang muncul, sehingga kita juga perlu sebagai terapis. Contohnya, anak mulai merasakan kesulitan dengan pelajaran tertentu, sehingga terkadang dia sampai malas sekolah.

“Mah, hari ini aku nggak masuk ya. Soalnya belum ngerjain PR matematika. Aku nggak bisa”

Seandainya, kalimat itu diucapkan oleh ananda. Kira-kira sebagai orang tua, akan menjawab bagaimana?

Ibu yang sudah capek sedari pagi bangunin anak-anak, masak dan menyiapkan bekal, beres-beres rumah, bisa jadi amarahnya langsung naik dan mungkin akan menjawab begini “Nggak boleh, harus tetep sekolah. Makanya kalo ada PR dikerjain. Kalau nggak tau tanya sama Mama. Sini Mama bantuin ngerjain”

Sementara ibu yang lebih sabar, bisa jadi akan menjawab begini “Sini nak, coba Mama lihat PR mu, kita belajar bareng-bareng ya”

Nah, sebagai orang tua super, sebaiknya kita menjawab apa? Yuk baca penjelasan berikut ini.

Kita analisa pertanyaan tadi ya.

“Mah, hari ini aku nggak masuk ya. Soalnya belum ngerjain PR matematika. Aku nggak bisa”

Nah, dalam konteks ini, pertama yang kita lakukan adalah berperan sebagai coach. Lakukan klarifikasi, terhadap persoalan yang dia hadapi.

“Nak, kamu nggak bisa matematika ya. Boleh mama tahu, tidak bisa dibagian manakah?”

Kecenderungan otak kita, sering melakukan penyimpangan yang namanya generalisasi dan delesi. Generalisasi adalah proses menyama ratakan semua proses atau kejadian. Delesi adalah proses memotong informasi atau proses.

Aku ga bisa matematika.

Kalau kita klarifikasi, bahasa dalam NLP disebut meta model, nanti akan ketahuan penyebabnya.
” Nak, bagian mana yang kamu ga bisa?”
Biasanya sebenarnya dia ga bisa hanya bab tertentu. Atau sub bab tertentu. Tapi karena otaknya menggeneralisasi, maka seolah dia ga bisa semuanya. Selain Generalisasi, biasanya juga ada Delesi, yaitu informasi yang tidak lengkap. Kita bisa tanyakan :

“Di bagian apa, adik nggak bisa matematika?”

“Menurut adik, apa yang menyebabkan bagian itu nggak bisa?”
Kalau dia sudah jawab, kita bisa tanyakan lagi :

“Jadi, menurut adik, agar kamu bisa bagian ini, apa yang harus adik lakukan?”
Ini adalah gaya-gaya seorang coach. Coach tidak memberikan solusi. Solusi biarkan hadir dari anak. Kalau nanti memang ada mental blok, atau memang terjadi sesuatu dengan proses interaksi antara dia dan matematika, ya memang kita harus berlaku sebagai terapis. Misalnya dia tetap ngotot, “pokoknya matematika aku nggak bisa. Aku nggak mau sekolah”

Kalau begitu, saatnya kita jadi terapis. Intinya, kalau ada mental blok seperti itu, kita ga bisa memaksakan. Sikap paling baik adalah membangkitkan motivasinya sambil kita gali dan temukan akar permasalahannya.

Tahap 15 – 21 tahun

Dalam tahap ini, orang tua lebih banyak berperan sebagai coach. Anak sudah baligh dan dewasa. Orang tua hanya perlu mendampingi dengan insight question yang akan memaksimalkan potensi anak.

***

Skill umum yang wajib dikuasai oleh Orang Tua, sebagai Trainer, Coach dan Terapis.

Seorang Super Parent, wajib menguasai 1 skill yaitu Building Rapport, yaitu bagaimana membangun hubungan antara Ayah, Ibu dan Anak.  Teknik Building Rapport, bisa dilakukan dengan teknik Pacing — Leading. Pacing yaitu menyamakan dan menyesuaikan dengan lawan bicara. Leading yaitu cara kita memberikan pengaruh kepada lawan bicara.

Pacing disebut juga menyamakan frekuensi. Kalau anak kita lagi main, tapi kita mau nyuruh belajar, maka sebaiknya kita ikut terlibat dulu. Cobalah main dulu. Nah, ketika kita main, anak kita nyaman. Inilah yang disebut pacing. Kalau sudah nyaman, baru kita leading ” Nak, besok ada ujian. 5 menit lagi Mama temenin belajar ya ”

Wah anak pasti seneng tuh.

Beda kalau kita ga pacing. Langsung Leading. ” Nak. Beresin mainannya. Belajar sekarang ya ”
Biasanya anak ngambek

Lagi asyik main, jangan tiba-tiba disuruh ngerjain PR

Ada 2 bentuk pacing :

1. Verbal Pacing dilakukan dengan menyamakan gaya bicara. Menyamakan intonasi. Menyamakan tema obrolan. Menyamakan apa yang dia sukai, dan lain-lain. Contohnya Kalau saya belanja di malioboro, biasanya saya akan menggunakan bahasa Jawa. Biar dapat harga lebih murah hehehe…. Kalau sama anak remaja, coba ajak ngobrol sesuatu sesuai tema yang anak kita sukai. Lihat antusias anak kita. Kalau sudah oke, barulah kita leading

2. Non Verbal Pacing, bisa dilakukan dengan menyamakan apa yang dilakukan oleh anak kita.

Kalau anak kecil, lagi main kita main.

Kalau dewasa?
Nah ini.

Kita bisa gunakan teknik yang namanya Matching dan Mirroring.

Matching adalah proses menyamakan gerakan lawan bicara kita.

Kalau dia pegang dagu
Kita pegang dagu

Kalau dia pegang alis
Kita pegang alis.

Kalau dia menyilangkan tangan
Kita menyilangkan tangan.

Kalau sudah nyaman, barulah leading.

Kita bisa kontrol dia.

Selain Matching, ada yang namanya Mirroring. Yaitu berlaku seolah cermin. Kalau dia angkat tangan kanan, kita angkat tangan kiri. Prinsipnya sama dengan matching

Melakukan matching dan Mirroring harus halus. Jangan sampai lawan bicara tahu. Kalau dia tahu, nanti tersinggung. Nah, kalau sudah bisa melakukan Pacing, maka kita bisa lakukan leading dengan menyampaikan apa yang mau kita sampaikan

Video berikut ini merupakan contoh teknik matching dan mirroring

Baca yang ini juga

27 thoughts on “Menjadi Orang Tua Super, sebagai Trainer, Coach dan Terapis

  1. MasyaAllah, nambah lagi ilmu buat bekal saat berumah tangga nanti,
    Buat orangtua jaman now, perlu tahu nih ilmu ttg jadi Coach, Trainer, dan Terapis ini, Mak
    Makasih sharingnya ya

  2. Wah ilmunya daging banget yak… sebagai ortu emang banyaj banget yg perlu kita pelajari dari anak2. Anakku usia 8-14..sering banget dicurhati anak2. kalo urusan akademis jarang mereka bahas hehe

  3. sebagai orangtua yang ga punya modul book, rasanya senaaang banget baca tulisan ini, apalagi kalimat
    Kecenderungan otak kita, sering melakukan penyimpangan yang namanya generalisasi dan delesi. Generalisasi adalah proses menyama ratakan semua proses atau kejadian. Delesi adalah proses memotong informasi atau proses.

    karena yang biasanya terjadi memang seperti itu. Dipotong tanpa dicari tahu dulu apa penyebabnya, thanks infonya

  4. Bahasannya menarik banget nih. Serius. Ternyata ada trik nya juga ya. Anakku kan masih umur 6 tahun dan nggak seperti waktu dia balita yang semuanya masih nurut apa kata ibu, sekarang tuh dia udah mulai suka berargumen. Kadang kalau pas penat aku jadi emosi sendiri.

  5. Menjadi orangtua tuh nggak mudah. Mmenabaca tulisan ini memang mengajarkanku bahwa sebagai orangtua kita nggak boleh berhenti belajar ya

  6. asyiiik! nambah lagi ilmu parenting di sini. Sekarang berarti aku masuk masa trainer. Emang 7 tahun pertama itu pondasi awal.

  7. Belajar mencari kata-kata yang pas sama anak ketika ingin saling menyampaikan pesan ini yang gak mudah.
    Keseringan maksud bercanda, tapi karena anak blum paham, malah marah.

    Memang jadi orangtua mesti diputus dulu niih….wiring-wiring pengasuhan masa kecil.

  8. Noted Trainer, coach, dan terapis tapi kelemahanku kadnag suka gak sabaran mbak huhuhu. Bener2 kudu kalahkan diri sendiri ya, belajar sabar saat menjadi ortu. Anak2ku msh di bawah 7 tahun, masa2nya bener2 usaha keras utk ambil peran itu, yaaa walau tugas kita seumur hidup sih hehe

  9. Iyah, aku juga kadang dapat pelajaran dan inspirasi dari anak. Kalo dipikir juga mereka kok bisa. Akhirnya aku sadar bahwa mereka juga mahluk Allah yang pintar meski masih kecil

  10. Wah, ilmu parenting nih. Pungutin ah. Walopun udah punya 2 abege, ilmu parenting saya masih payah, Mak 🙁

  11. Sharingnya sungguh seru Mbak. Bermanfaat sekali. Jadi sedikit tau apa yang harus dilakukan menghadapi anak-anak. Ditunggu postingan yang 2 dan 3nya.

  12. Semua sesuai tahapan ya mak. Tapi jangan jadi orang tua super menurutku mak, takut lelah. Cuma ya gitu ya orang tua wajib jadi trainer, coach ya mak segala bisaaaa buat anak.

  13. Benar benar kalau sudah jadi orang tua tuh butuh kemampuan yang menyeluruh dalam hal mendidik. Tak sekadar membesarkan anak tetapi juga menanamkan nilai nilai kehidupan

  14. Ternyata menjadi orang tua itu rumit ya, butuh banyak ilmu tentang psikologi anak, harus kubaca dengan saksama lagi nih tulisannya..terima kasih mbak..

  15. Assalamualaikum Mba….saya sedang membutuhkan ilmu coaching ini… dimanakah Mba ikut training coaching ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: