Novel Amongraga karya Ardian Kresna adalah novel kedua yang saya tuntaskan membacanya untuk mengisi waktu libur lebaran kemarin. Novel ini diterbitkan oleh Diva Press pada tahun 2013
Saat saya menemukan novel Amongraga ini diantara deretan buku di rak buku saya, masih tersegel plastik. Ya ampun, dulu saking kalapnya kalau ke pameran buku borong buku-buku murah, dengan niat buat bahan bacaan beberapa bulan ke depan. Akhirnya nggak cuma beberapa bulan, tapi hingga bertahun-tahun masih aman tersegel plastik.
Tak Boleh ada Matahari Kembar
Kisah dalam novel Amongraga ini diawali dengan keresahan sultan Mataram akan pamor Kasunanan Giri di Gresik. Kala itu Mataram memang jadi penguasa di tanah Jawa, namun untuk urusan agama, rakyat masih lebih taat pada arahan dari Kasunanan Giri yang kala itu dipimpin oleh keturunan ketiga dari Sunan Giri.
“Tak boleh ada matahari kembar!”
Begitulah keinginan sultan Mataram kala itu. Mataram dan Kasunanan Giri diibaratkan sebagai dua buah matahari yang menjadi pusat kehidupan rakyat di tanah Jawa. Jika ada dua matahari, maka rusaklah sistem tata surya. Jika ada dua pengaruh, maka kebingunganlah yang akan dirasakan rakyat.
Oleh karena itu, salah satu matahari harus dipadamkan. Karena sultan Mataram tak ingin hanya jadi raja penguasa, tapi juga penata agama, sesuai dengan salah satu gelarnya yaitu Sayidin Panata Gama.
Maka diutuslah Bupati Surabaya kala itu yang telah ditakhlukkan oleh Mataram, untuk melakukan negosiasi ke Giri. Membujuk pemimpin di Giri agar mengakui dan tunduk pada kekuasaan Mataram. Namun permintaan ini ditolak secara tegas oleh pihak Giri.
Permintaan secara baik-baik ditolak, tak ada cara lain lagi, kekuatan perang pun dikerahkan. Dalam penyerbuan pertama, Giri berhasil mengalahkan pasukan prajurit Surabaya.
Namun dalam penyerbuan berikutnya, Giri berhasil ditakhlukkan. Hal ini tak lepas dari besarnya bala bantuan prajurit dari Mataram dan juga peran panglima perang Kadipaten Surabaya yaitu Ratu Pandansari yang merupakan adik sultan Mataram sekaligus istri Bupati Surabaya.
Petualangan dalam Pelarian
Giri pun akhirnya takhluk. Semua keluarga keturunan Sunan Giri menjadi tawanan, kecuali Jayengresmi dan kedua adiknya yang berhasil melarikan diri. Sayangnya, Jayengresmi terpisah dengan kedua adiknya karena suasana peperangan yang begitu kacau.
Jayengresmi lalu mengembara dalam pelarian, sambil berusaha menemukan kedua adiknya, hanya ditemani dua abdi setianya yaitu Gatak dan Gatuk.
Dalam pelariannya inilah Jayengresmi bertemu dengan banyak tokoh lain. Warga kampung yang mau menampung mereka. Dari obrolan dengan warga kampung itulah, mengalir berbagai cerita sejarah masa lalu maupun mengenai kejadian suatu daerah, atau kita kenal dengan nama legenda.
Ada cerita tentang candi-candi kecil di daerah Mojokerto yang dulu sebagai pusat kerajaan Majapahit. Ada kisah tentang Syekh Siti Jenar dan juga tiang masjid di Kudus yang menggunakan tatal. Ada pula kisah tentang awal mula Sunan Kalijaga menggunakan wayang untuk sarana dakwahna. Ada banyak kisah lagi tentang berbagai wilayah dari Tuban hingga Banten.
Yup, pelarian Jayengresmi dari Giri hingga ke Banten, tentu saja tak melewati pusat-pusat perkotaan melainkan pegunungan dan hutan. Jikapun melewati perkampungan, maka perkampungan di kaki gunung/bukit.
Ada satu kisah yang langsung mengingatkan saya pada kepercayaan (mitos) jaman saya kecil dulu, yaitu tentang daun jarak.
Jadi dulu kan SD saya tuh lumayan jauh dari rumah, dan kami biasa ke sekolah dengan berjalan kaki. Kalau musim hujan, kadang siang waktunya pulang itu hujan deras turun. Namanya anak-anak ya, kalau ada hujan malah seneng. Jadi kami biasa aja menerabas berjalan ditengah hutan, tanpa payung ataupun jas hujan. Sepatu di tenteng di kantong plastik supaya tak basah, karena kalau sepatu sampai basah, alamat besok ke sekolah harus nyeker karena itu adalah sepatu satu-satunya yang dimiliki.
Selain menenteng kantong platik berisi sepatu, kami juga menenteng setangkai daun jarak. Karena kata para orang tua kami, daun jarak itu berfungsi sebagai penangkal petir! Iya, warga kampung saya selalu membawa setangkai daun jarak kalau menerabas hujan, agar selamat dari sambaran bledeg
Kesan setelah Membaca Novel Amongraga
Salut untuk penulisnya yang mampu merangkai kisah dengan sangat apik. Walau saya sedikit kecewa karena diawal membaca buku ini ada beberapa bagian yang seperti diulang ceritanya. Tapi saya berusaha maklum saja sih, mungkin sebagai penegasan kembali saja.
Dalam novel Amongraga ini kita bisa menemukan banyak istilah dan ajaran budi pekerti yang ada di tanah Jawa. Penulisan istilah-istilah itu di cetak miring dan ada keterangan artinya juga dalam bahasa Indonesia. Hal ini tentu sangat membantu bagi pembaca yang tak bisa berbahasa Jawa untuk lebih mudah memahami maknanya.
Sayangnya endingnya menggantung. Hingga kisah ini tamat, Jayengresmi tak bisa menemukan kedua adiknya. Hanya disinggung bahwa suatu saat dia akan bertemu dengan kedua adiknya yang telah sukses dalam kehidupannya, mapan secara ekonomi dan dihormati oleh rakyat.
Kisah ini ditutup dengan Jayengresmi meninggalkan padepokan di kaki Gunung Salak dan pemimpin Padepokan itu memberikan nama baru untuknya, Amongraga, manusia yang mengasuh raganya.
Menarik ulasannya mba. Jadi banyak belajar sejarah
Saya juga suka baca novel yang banyak bahasa asingnya. Jadi paham banyak istilah ya mbk
Suka juga baca novel yang sarat dengan sejarah atau asal muasal gitu.
Pas di kalimat “masih bersegel” saya langsung ke rak buku karena saya juga punya novel masih bersegel beli sebelum pandemi.
langsung dibuka dan dibaca 😁
Bukunya menarik nih, apalagi ada unsur-unsur sejarahnya juga. Auto favorit dan jadi wish list buku yang mau dibeli
Di bagian buku yang masih segelan kita sama, Mbak. Selain kalap saat ada pameran buku, beberapa teman dekat kalau lagi bebersih rumahnya dan tahu ada buku segelan malah dihadiahkan ke saya – karena dia merasa ga ada waktu buat baca. Jadi ya gitu deh buku numpuk di rumah saya jadinya Saya cicil baca sih, dan (rencana) mau ulas di blog. Di bagian terakhir enggak jadi-jadi terus jadi lupa isinya…huhuhu
Saya senang baca novel berlatar sejarah begini , membuka wawasan baru. Serius baru tahu saya tentang kisruh Mataram dan kasunanan Giri.
Sampai sekarang pun “tak boleh ada dua matahari” nih bikin gaduh terutama di dunia perpolitikan haha :p
Kangen banget aku baca novel2 yang kyk gini yang bisa bikin mbayangin kejadiannya, tapi sayang endingnya gantung ya mbak? Mungkin pengarangnya mau bikin kisah lanjutannya nati 😀
Endingnya yang menggantung mungkin kesimpulannya menyerahkan kepada pembaca ingin berakhir seperti apa. Tapi seru juga ya, walau bukunya beli kapan eh dibaca kapan hihi, kayak daku banget itu 😅
auto search tentang Jayengresmi deh
ternyata yang keluar malah novel Serat Centhini
jadi penasaran, pengen baca semuanya,
Saya suka banget kisah2 seperti ini, karena itu kalau nonton drakor atau dracin, pasti yang dicari lebih dulu yang berlatar kerajaan
Tidak boleh ada dua matahari, kutipan novel berisikan sejarah tersebut.
Wuahh novel dengan sejarah ini kerenn sekali, saya selalu suka dengan buku yang ada sejarah-sejarahnya.
Tidak ada dua matahari. Sama analoginya dengan tidak ada dua nahkoda di kapal yang sama. Konsep inilah yang akhirnya bisa memecahbelah. Apalagi kemudian ada 2 filosofi hidup yang tidak bisa bercampur satu sama lain. Yang pengaruhnya lemah tentunya ingin agar dirinya tidak hanya menjadi boneka. Dan itu sepertinya manusiawi. Terjadi dimana-mana.
Saya suka Mbak Nanik dengan buku-buku sejarah. Dan dari tulisan ini saya baru tahu bahwa di Jawa Timur ada seorang panglima perang, Ratu Pandansari, yang memiliki kemampuan memimpin pasukan seperti wanita-wanita perkasa dari Aceh. Cus ah langsung browsing, mencari sejarah tentang beliau.
BTW, ending buku yang nanggung tuh emang gemesin ya Mbak. Atau mungkin sengaja karena memang sudah rencana bikin buku berikutnya.
Mbak Nanik kayak saya, masih ada buku tersegel dan itu sudah beberapa tahun haha. Emang kadang ya, beli beberapa buat stock bacaan beberapa waktu ke depan, taunya malah gak sempat2 dibaca. Tapi akhirnya dibaca juga kan, malahan diulas di sini.
Saya pas baca amograga, yang terlintas pertama kali di benak saya adalah among praja wkwwk jauh bener ya. Dari sini saya jadi tahu arti amongraga, manusia yang mengasuh raganya. Novel sejarah yang menarik untuk ikut dibaca. Thanks ulasannya mbak.
Sesungguhnya. Aku suka dengan cerita-cerita sejarah dan legenda. Apalagi masa-masa kerajaan. Membuatku kemudian membayangkan. Bagaimanakah kondisi kita sebenarnya pada masa itu?
Membaca ulasan mbak. Rasanya aku berpikir buku ini akan asyik untuk dibaca. Nggak bikin bosan pula.
Ulasannya menarik terutama bahasan tidak boleh ada dua matahari kembar jadi kepo pengen baca novel secara utuh bagus
Masalah terbesar membaca fiksi sejarah seperti ini bagi sy adalah kadang kadang kejadian fiktif dianggap sy anggap fakta sejarah. Jadinya campur aduk.