Sakit dan Sehat Harus Sama-sama Antri

Beberapa hari kemarin, saya terpaksa berkunjung ke dokter. Gara-gara semalaman beberapa kali perut mules, diare dan muntah-muntah juga. Saya tak terbiasa minum obat yang dijual bebas. Sebenarnya pengen “uji diri” saja, membiarkan sistem pertahanan tubuh saya yang bekerja memulihkan diri, tapi karena suami memaksa, jadilah saya mau juga diantar.

Tujuan kami sebuah poliklinik yang dekat dengan rumah. Masih pagi pas sampai sana sekitar setengah 8, tapi sudah ada beberapa pasien yang duduk di kursi antrian. Saya pun lalu mengambil karcis di depan loket, menuliskan nama saya lalu menyerahkan pada petugas. Tertulis, dokter mulai melayani pukul 08.00.

Saya duduk dan mengamati sekeliling saya. Siapa yang datang lebih dulu dari saya. Siapa yang yang datangnya belakangan. Beberapa pasien sepertinya melakukan hal yang sama, ada juga beberapa yang terlibat obrolan. Rata-rata topik obrolannya adalah tentang penyakit yang dirasakannya.

Sebelum ketemu dokter, ada asistennya yang memanggil nama kami secara berurutan, sesuai dengan antrian. Bertanya apa keluhannya dan memeriksa tensi darah, menuliskannya pada lembaran data rekam medik. Mungkin untuk lebih memudahkan/mempercepat kerja dokter dalam pemeriksaan. Lembaran catatan dan kartu berobat diserahkan kembali pada pasien, untuk nantinya diserahkan langsung pada dokter.

Jam 08.00 mulailah acara pemeriksaan. Ruang periksa untuk dewasa dan anak-anak di pisah.

Saat masuk ruang periksa dokter, tidak ada pemanggilan. Kami sama-sama sadar diri saja, siapa yang datang duluan, dipersilakan untuk masuk terlebih dahulu. Alhamdulillah bisa tertib. Saya menghitung, masih ada 2 orang lagi sebelum giliran saya.

Seorang pasien keluar, selanjutnya giliran seorang ibu yang sudah agak sepuh. Ibu ini segera bangkit dan berjalan pelan menuju ruang periksa. Tapi seorang pasien lain, wanita muda, menyerobot dan langsung masuk. Wanita muda ini seharusnya antriannya berjarak sekitar 3 atau 4 orang dibelakang saya. Saya dan seorang ibu disebelah saya langsung saling pandang. Karena saya sebenarnya juga sudah nggak tahan pengen segera pulang dan tidur, saya pun lalu ikut masuk ke ruang dokter yang memang pintunya tidak ditutup.

Saya lihat, wanita muda itu duduk di hadapan dokter. Sementara wanita sepuh duduk di kursi lain, karena pastinya dia kalah cepat masuk ke situ tadi. Saya perhatikan, wanita muda itu meminta surat keterangan sehat dari dokter.

Langsung deh saya hampiri meja dokter itu, saya permisi ke bu dokter dan mengatakan bahwa saya dan ibu sepuh yang sedang duduk itu datang lebih dulu di banding si wanita muda yang duduk di hadapan dokter itu.

Bu dokter mengalihkan pandangan pada wanita yang duduk di hadapannya, mungkin minta penjelasan, apakah yang saya ucapkan benar. Wanita muda itu lalu bilang bahwa dia nggak bisa antri lama-lama, karena harus segera masuk kantor. Menurutnya, dia kan cuma minta surat keterangan sehat, jadi pasti kan bakal cepat pelayanannya karena nggak harus di periksa oleh dokter.

Bu dokter bertanya, dimana kantornya. Wanita itu menyebutkan nama sebuah instansi yang letaknya hanya sekitar 500 meter dari poliklinik, selisih beberapa gedung saja.

Saya, langsung aja memotong pembicaraan mereka. Udah nggak tahan sakit perut. Kalau diingat lagi, saat itu saya kayaknya kurang sopan deh.

“Mbak, mbak ini kan sehat. Masa nggak mau ngantri. Kami yang sakit aja mau lho ngantri bahkan sebelum bu dokter ini datang”

“Iya, bu. Tapi saya sudah terlambat ke kantor.” si mbak itu masih juga cari pembenaran yang membuat saya makin emosi saja.

“Telpon ke kantor dong mbak, bilang ke atasan kalau masih antri di dokter. Saya juga PNS, mbak. Saya juga butuh surat keterangan sakit karena hari ini nggak ngantor. Surat itu juga harus sampai di kantor saya pagi ini sebelum jam 9.”

“Nah, itu ibu juga tahu. Saya juga harus cepat-cepat bu, surat itu mau di pakai buat persyaratan mengikuti diklat. Ini lho ada suratnya kalau ibu nggak percaya. Jadi nggak pa pa ya bu saya duluan” masih ngeyel juga dia, malah menyodorkan undangan untuk ikut pelatihan.

Beberapa orang, yang merasa terserobot antriannya mulai ramai di depan pintu masuk. Sebagian malah sudah masuk ke ruang periksa.

“Bu dokter, silakan saja ibu kasih surat ke dia (sambil saya menunjuk wanita muda itu). Saya nggak apa-apa. (si mbak sudah sumringah wajahnya). Tapi coba deh ibu bayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pasti akan ada kekacauan. Semua pasien akan berebutan untuk masuk ke sini.”

Alhamdulillah bu dokternya baik, dia menyuruh wanita itu keluar dan memintanya masuk lagi jika memang sudah sampai gilirannya. Kerumunan pun bubar. Pemeriksaan kembali lancar.

Kalau di pasar, dibandara, di warung makan, biasanya saya cuek aja kalau ada yang menyerobot antrian. Walau dongkol, masih bisa berbaik sangka, mungkin si penyerobot sedang terburu-buru. Tapi di rumah sakit, masih ada yang berani nyerobot antrian, kok saya nggak rela. Apalagi yang menyerobot itu sehat, segar bugar, masih muda pula.

 

Baca yang ini juga

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: