Suka Duka Mahasiswa Beasiswa

Jaman kuliah D3 dan S1 dulu, saya rajin cari beasiswa, tapi selalu terbentur dengan syarat “surat keterangan tidak mampu”. Jadi, karena bapak saya itu PNS, aparat desa di kampung saya nggak mau membuatkan surat keterangan tidak mampu. Padahal, bapak saya itu guru SD dengan 5 anak, yang hidupnya pas-pas an, bahkan sering kurang. Tapi ya sudahlah, masih banyak yang lebih kekurangan di kampung saya.

Alhasil, biasanya tetap saya ajukan saja persyaratan untuk mendapatkan beasiswa, walau tanpa surat keterangan tidak mampu. Dan, hasilnya sudah bisa ditebak. Saya gugur di seleksi administrasi.

Jadi selama masa kuliah itu, saya nggak tahu gimana rasanya jadi mahasiswa beasiswa.

Setelah kurang lebih satu setengah tahun bekerja, pertengahan 2006 saya mendapat tawaran dari atasan saya, untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa full dari pemerintah. Beasiswanya meliputi biaya pendidikan dan biaya hidup, plus biaya buku. Beasiswa ini dulu diberikan oleh Biro Kerjasama Luar Negeri, dibawah kementerian pendidikan. Programnya bernama beasiswa unggulan.

Maka, pergilah saya ke Bandung, mengikuti serangkaian tes dan alhamdulillah berhasil lolos. Nah, pas sudah dinyatakan lolos, malah ada sedikit masalah di tempat kerja. Jadi kan saya ini PNS, belum lama bekerja, masih anak kecil, kok mau meninggalkan pekerjaan untuk sementara waktu dan kuliah lagi. Padahal, banyak senior saya, yang sudah lama bekerja, yang sudah lama berharap dapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, malah nggak dapat beasiswa.

Sebagai anak baru, saya keder dong jadi bahan omongan senior. Saya bahkan sudah memutuskan untuk mundur saja. Tapi atasan saya menyuruh saya untuk tetap berangkat. Jadi, walau saat itu masih ada suara-suara yang menyatakan tidak setuju, saya berusaha untuk cuek saja.

Maka mulailah saya menjalani rutinitas lagi sebagai mahasiswa. Beruntung, status saya sudah PNS, tiap bulan mendapat gaji dan gajinya langsung ditransfer ke rekening. Karena ternyata, hingga bulan keempat saya kuliah, beasiswa belum turun!

Jadi memang harus mengeratkan ikat pinggang. Biasanya saya berangkat kuliah lebih awal, mampir ke kantin di masjid Salman ITB. Sarapan dulu disana. Alasan milih kantin ini, karena self service. Jadi nasinya bisa ngambil banyak :). Siang/sore hari pulang kuliah, mampir lagi disini.

Ada teman, PNS juga, di instansinya mensyaratkan gaji harus diambil sendiri ke bendahara, tidak boleh diwakilkan, bahkan walau membuat surat kuasa bermaterai. Jadilah teman saya itu tiap bulan balik ke jogja untuk mengambil gajinya. Mau nggak diambil juga gimana, lha wong beasiswa belum turun, sementara satu-satunya sumber dana adalah gaji. Nggak mungkin dong minta bantuan lagi ke ortu.

Bulan kelima, barulah dana beasiswa turun. Rapelan. Seneng dong tentunya. Langsung deh saya saya borong buku, kan ada biaya buku hehehe…. padahal belinya bukan buku perkuliahan, tapi novel dari berbagai genre 🙂

Rapelan itu juga dapat saya manfaatkan untuk membeli laptop. Yah, secara kuliahnya di jurusan IT, yang tugasnya banyak coding, lebih enak kalau pakai laptop, jadi kerjanya bisa dimana-mana. Sebelum ada laptop ini, saya bawa PC dari kantor. Iya, dapat pinjaman PC dari kantor. Kebayang kan gimana saya borongan dari malang ke bandung, naik bis, bawa kardus berisi PC plus perlengkapannya. Monitornya juga masih pakai monitor yang tabung.

Berhubung dibayari negara, kuliahnya jadi semangat. Karena kalau sampai melewati batas waktu beasiswa habis dan saya belum lulus, harus bayar sendiri. SPP untuk pasca sarjana kan mahal, belum biaya hidupnya, belum biaya sosialnya. Jadi, harus bisa lulus tepat waktu.

Alhamdulillah, target lulus tepat waktu bisa tercapai.

Tibalah waktunya wisuda. Usai terima map, salaman dengan dekan dan rektor kembalilah saya ke tempat duduk. Buka map, pengen lihat bentuk ijazahnya. Tapi yang ditemukan ternyata bukan ijazah, tapi selembar kertas yang bertuliskan :

“SILAKAN MENGHUBUNGI BAGIAN ADMINISTRASI”

Waduh, sepertinya ada masalah nih.

Dan benar. Rupanya pihak pemberi beasiswa belum melunasi biaya pendidikan, sehingga ijazah kami ditahan. Hiks…

Sekitar dua bulan kemudian barulah ijazah dapat diambil. Karena saya sudah kembali ke malang, saya minta tolong pada teman yang dibandung untuk mengambilkan. Tentu saja dengan membuat surat kuasa terlebih dahulu.

Yah, begitulah sedikit kisah saya jadi mahasiswa beasiswa. Intinya sih, harus pandai mengelola dana beasiswa, karena belum tentu beasiswa kita lancar tiap bulan turun.

Baca yang ini juga

21 thoughts on “Suka Duka Mahasiswa Beasiswa

  1. Duh, kisahnya benar2 penuh perjuangan yah mbak…
    Kebayang itu bawa2 PC dari Malang ke Bandung naik bis deh mbak..

    Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, walopun ijazahnya gak bisa langsung diterima yah hehe.

    1. alhamdulillah mbak, semua bisa terlewati. Dan perjuangan itu bisa jadi bahan cerita buat generasi selanjutnya 🙂

  2. Senangnya bisa sekolah dan dibiayai kek gitu 🙂
    Jadi keingat teman saya yang sekolah dibiayain pemerintah, tapi udah berkeluarga. Berat banget keknya, karena harus ngongkosin keluarga juga.

    1. iya, banyak teman-teman saya yang saat itu sudah berkeluarga juga mengeluh. Karena istilahnya menurut mereka, harus bisa menghidupkan dua kompor

  3. Memang suka gitu… sy dulu jg selalu telat lebih dr 1 semester… tiap kali registrasi statusnya selalu pending pembayarannya…

    Salam sesama penikmat kantin salman

    1. hehehe… kadang jadi risi jadi bahan tatapan mahasiswa lain, saat ke meja registrasi dan ketahuan belum bayar (eh, dibayari)

  4. Harus ada ‘serep’ Jeng, turunnya beasiswa lambat pun kurang ajeg hehe… Hayo selangkah lagi apply beasiswa lanjut S3nya, peluang besar koq. Salam pembelajar

  5. kalo ane harap2 cemas dari ortu…meskipun gak terlalu mengharapkan juga….hehehe….maklum kondisi ortu cuma petani kecil namun alhamdulillah semua lancar dan bisa lulus kuliah meskipun molor 2 semester…hehehe

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: