Suatu sore saya sedang mencoba asyik di depan laptop sambil memangku Okto. Sementara kedua kakaknya bermain di halaman. Mereka main petak umpet dan berkejar-kejaran. Lepas suara tawa mereka, membuat saya tak perlu bolak-balik keluar rumah untuk menengok keberadaan mereka. Jika terdengar suara tawa, berarti mereka masih di areal halaman rumah.

Mendadak suara tawa mereka berhenti. Lalu Satria masuk rumah dan duduk di dekat saya. Sementara Nayla berlalu begitu saja, masuk ke ruang tengah. Hmm… kok begini akhir permainan mereka. Mungkinkah mereka bertengkar?

“Ma, aku mau bilang sesuatu, tapi mama jangan marah ya” ucapan Satria mengalihkan perhatian saya. Segera saya alihkan pandangan, menatap matanya. Sebagai pertanda saya siap menyimak apa yang akan diucapkan selanjutnya. Tak perlu saya jawab. Cukup dengan tatapan mata seperti ini, Satria sudah tahu bahwa saya tak akan marah, apapun yang akan diucapkannya.

“Dedek tadi jatuh, berdarah”

Oh, ternyata ini masalahnya. Kalau cuma adeknya jatuh, mama nggak akan marah lah nak. Jatuh kala bermain dan berlari-larian itu hal biasa. Ntar juga lukanya bakalan sembuh.

“Banyak darahnya?”

“Hmmm… nggak sih. Tapi dedek nangis”

“Ya udah, tolong ambilin betadine sama tissue basah buat bersihin luka Nayla”

Satria pun dengan sigap segera mencari barang yang saya minta. Dia ini memang sayang betul pada adiknya. Kalau terjadi apa-apa pada adiknya, dia yang paling khawatir.

Tak lama, Nayla menghampiri saya. Menangis sambil menunjukkan lukanya. Ada di siku dan lutut kiri. Saya nggak nanya bagaimana dia bisa terjatuh. Bisa-bisa tangisannya tambah lama redanya. Saya cuma bilang “nggak apa-apa jatuh sesekali. Itu hal yang biasa dalam permainan. Yang penting jangan sampai kapok. Lukanya bentar lagi juga sembuh”. Sambil saya bersihkan lukanya, beri betadine dan ditutup pakai hansaplast. Selesai deh, dan tangisnya pun reda. Kalimat itu lebih efektif untuk membuatnya tenang, daripada saya ikutan panik dan mencecarnya dengan pertanyaan “kenapa bisa jatuh… makanya hati-hati”

Nanti juga kalau si bocah udah tenang, tanpa diminta, dia akan bercerita kronologisnya hingga dia bisa terjatuh saat bermain.

***

Begitulah. Suasana rumah yang biasanya ramai dengan suara anak-anak, bila tiba-tiba sunyi, itu bisa jadi alarm buat saya. Bisa saja ada kejadian “tak menyenangkan” yang telah mereka lakukan. Contohnya bisa seperti cerita di atas. Atau diam-diam mereka membuat tumpukan mainan berantakan. Atau mereka melakukan aktivitas yang menurut mereka, saya akan marah jika mengetahuinya, makanya mereka memilih diam-diam saja. Karena mereka sudah hapal, jika sudah terjadi, saya pasti nggak akan marah. Ya iyalah, marah juga percuma, lha wong sudah terjadi.

Beda kalau mereka bilang dari awal, bisa jadi saya akan melarang. Bisa jadi saya akan mengijinkan, namun dengan beberapa catatan. Nah ini yang sepertinya mereka nggak suka.

Baca yang ini juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *