Susahnya Membiasakan Menaruh Piring Kotor pada Tempatnya

Pagi hari, di ruang makan lembaga pelatihan bagi aparatur sipil negara (asn), meja kursi tertata rapi, hidangan sarapan sudah tersedia. Satu persatu maupun berombongan, para peserta pelatihan memasuki ruang makan. Mengambil piring dan sendok lalu mulai antri mengambil makanan. Piring sudah terisi, lalu mulailah mencari meja dan kursi kosong untuk tempat makan. Ruang makan pun mulai ramai dengan denting sendok yang beradu dengan piring, di timpali pula suara riuh percakapan para peserta pelatihan. Ya, meja makan bisa menjadi tempat ngobrol yang asyik bagi mereka. Obrolan soal pekerjaan, keluarga bahkan juga rekan sejawat.

Usai makan, orang-orang pun mulai beranjak pergi. Meninggalkan meja yang berantakan dengan piring dan gelas kotor. Meja yang penuh dengan piring dan gelas kotor ini pastinya akan dihindari oleh peserta lain yang datang ke ruang makan belakangan. Padahal kapasitas meja dan kursi terbatas, karena memang di desain untuk makan bergantian. Jika tak ada lagi meja kosong, maka terpaksa beres-beres piring dan gelas kotor dulu sebelum makan. Tumpuk piringnya dan taruh di tengah, biar petugasnya nanti mudah membereskan.

Piring dan gelas kotor di meja makan

Padahal, ada meja kosong yang memang difungsikan untuk menaruh piring dan gelas kotor lho di ruangan ini. Sudah jelas pula dengan tulisan dan petunjuk untuk menaruh piring dan gelas kotor disitu.

Meja tempat piring dan gelas kotor

Meja-meja tempat piring dan gelas kotor ditempatkan sedemikian rupa sehingga dekat dengan pintu keluar ruang makan. Ada tiga pintu untuk keluar masuk ruang makan. Di dekat ketiga pintu itulah ditempatkan meja untuk piring dan gelas kotor. Harapannya tentu saja, para peserta saat hendak meninggalkan ruang makan bisa sekalian membawa piring dan gelas kotornya dan ditaruh di meja itu. Namun harapan tak selalu seindah kenyataan.

Nyatanya hanya sedikit sekali peserta yang punya kesadaran untuk membawa piring dan gelas kotornya dan ditaruh di meja itu. Beberapa teman, malah melarang saya membawa piring dan gelas kotor ke sana. “Halah, biarin aja, ntar juga ada yang membereskan”

Ada pula yang seperti takjub, lalu bertanya “piring dan gelasnya harus dikembalikan ya?” melihat saya menenteng piring dan gelas kotor.

Memang susah ya, membiasakan hal baik itu. Malah bisa jadi dianggap orang aneh. Apakabar revolusi mental?

Baca yang ini juga

12 thoughts on “Susahnya Membiasakan Menaruh Piring Kotor pada Tempatnya

  1. Hadeuh gemes banget ya sama yang kayak gini. Mau negur langsung juga gak enak, jadinya serba salah. Ckckck

    1. iya padahal banyak juga ibu-ibu lho. Pikir saya, klo ibu kan biasa di rumah bereskan piring dan gelas kotor, tapi disini kok mereka nggak mau 🙂

  2. Gemeess sekaligus jengkel kalau lihat yg begini. Padahal sudah disiapkan tempat khusus piring kotor ya. Bukan hal sulit sebenarnya, tapi kalau gak ada niat juga jadi susah ya mb 😑

    1. betul mbak, tidak berat sebenarnya, tapi kalau tak ada niat dan kesadaran ya jadi susah

  3. Ga tahu kenapa memang sebagian mental orang indonesia seperti itu, masih tidak terlalu perduli dengan kebersihan dan peraturan, padahal sudah jelas di kasih tempat untuk piring kotor, masih naruhnya seenaknya sendiri!

  4. Aku jadi inget, pas ke restoran cepat saji, ntah itu kfc, mcd ato apapun, aku selalu membuang semua sampahnya dan menaro kembali baki di tempat yg memang khusus membuang sampah sisa. Dan pernah ada pengunjung yg bilang, “emangnya harus kita juga yg bersihin ya mba? ”

    Pertanyaan yg sbnrnya aku males jawabnya. Ntah si bapak ga tau Etika makan di tempat cepat saji ato gimana yaaa.. Di negara2 maju, pengunjung wajib membuang semua sampahnya sendiri di tempat yg disediakan. Malah minuman yg masih sisa airnya jg ada tempat khusus utk membuang airnya terlebih dulu, baru buang botolnya. Maksud kita baik, utk meringankan kerja para petugas kebersihan. Tp ttp aja ada orang yg arogan, ato memang blm tau ttg hal2 yg seperti ini.

    1. Memang susah ya mbak, kebiasaan baik dianggap aneh oleh masyarakat yang konon memiliki budaya tinggi

  5. Mulai dari diri kita sendiri. Kasih contoh. Semoga dengan semakin banyak orang yang melakukan ini maka nantinya jadi gerakan massive.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: