Tolong Jangan Jerumuskan Anakmu, Mas

Kemarin, saya dihubungi oleh kakak sepupu saya. Usia kami selisih jauh. Anaknya tahun ini lulus SMA. Dia menghubungi saya untuk meminta pertimbangan, sebaiknya anaknya nanti setelah lulus dari pondok, kuliah di mana dan jurusan apa. Tentu saja susah saya menjawabnya, tanpa tahu latar belakang si anak bagaimana. Minatnya di bidang apa. Tak ada informasi. Si anak saat ini ada di pondok pesantren yang cukup terkenal di Ponorogo. Jadi kakak sepupu saya dan anaknya itu pun jarang berinteraksi.

Saya tanya-tanya lah soal anaknya, tapi info yang saya dapatkan juga minim. Jadi, bagaimana saya bisa kasih pertimbangan.

Terus kakak saya cerita, bahwa di ditawari oleh temannya untuk lewat jalan belakang. Temannya itu menawarkan kalau si anak bisa kuliah di sebuah PTS di Semarang tanpa harus mengikuti seleksi masuk. Cukup kasih data si anak lewat dia. Beres sudah.

Aduh! Kok masih ada yang kayak gini ya. Saya tanyalah, apa nama PTS nya. Dia sebutkan nama yang baru saya tahu saat itu. Beruntunglah punya koneksi internet lancar. Saya carilah info tentang PTS itu.

Saya sarankan, kalau bisa coba dulu daftar di PTN atau politeknik negeri. Kakak saya beralasan susah, karena kayaknya materi umum kurang kalau di pondok. Jadi kayaknya dia udah condong banget untuk mengikuti saran temannya masuk lewat jalan belakang. Saya sarankan ntar keluar dari pondok, si anak disuruh ikut bimbingan persiapan masuk PTN, pasti kan banyak lembaga bimbingan belajar di sana.

Eh, malah kakak saya minta tolong saya, punya koneksi nggak di PTN atau PTS yang bisa membantu anaknya supaya bisa diterima di sana. Hehehe…. bagaimana ya kasih penjelasan tanpa menyinggung perasaannya. Secara, bagi dia, saya ini kan tetep anak kecil.

Pembicaraan kemarin sampai disini saja. Saya butuh merenung dulu, cari kata-kata yang pas biar nggak menyinggung perasaannya.

Dan hari ini, saya hubungi lagi kakak saya. Dengan permohonan maaf sebelumnya, saya minta pada kakak saya untuk tidak usah menanggapi tawaran temannya. Karena hal itu sama saja dengan menjerumuskan si anak. Saya berikan gambaran, bahwa saya pernah mengajar di PTS dan menghadapi mahasiswa yang ‘bermasalah’. Ternyata, rata-rata mahasiswa yang bermasalah itu, dulu pas masuk juga bermasalah. Rata-rata nilai tes seleksi kurang dari passing grade, tapi tetap memaksa untuk bisa di terima.

Lalu saya tanya, kalau masuk PTS lewat temannya itu pakai uang atau nggak? Tapi kakak saya malah mengalihkan pembicaraan. Tidak mengiyakan namun juga tidak membantah.

Mulailah saya ceramah. Percuma saja si anak selama ini di masukkan ke pondok, mendapatkan pengetahuan agama dan akhlak yang baik. Baru juga keluar pondok malah orang tuanya yang memberi contoh tidak baik. Bukankah yang menyuap dan yang di suap itu keduanya berdosa? Dengan memasukkan si anak ke PTS dengan cara yang tidak jujur, itu sama saja dia tidak menghargai kemampuan si anak. Biarkan si anak berusaha secara maksimal, belajar giat, banyak berlatih soal jika dia memang benar-benar ingin kuliah.

Memang sih, saya harus akui, kakak saya itu melakukan itu karena sayang pada anaknya. Takut anaknya gagal dalam tes masuk. Saya paham kekhawatirannya. Tapi saya tak setuju dengan cara dia membantu anaknya. Itu cara membantu yang salah, yang justru membawa akibat yang tidak baik bagi anaknya.

Semoga saja kakak saya itu segera sadar, bahwa cara yang ingin di tempuhnya itu tidak benar dan tidak baik bagi anaknya. Semoga saja kakak saya itu kuat untuk melihat anaknya jatuh bangun demi meraih apa yang diimpikannya. Semoga saja keponakan saya bisa menolak dengan santun jika orang tuanya menawarkan hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran baik yang telah di terimanya selama di pondok.

Baca yang ini juga

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d bloggers like this: