Hujan deras mengguyur kota Ambon siang itu. Usai melaksanakan tugas di salah satu SMK di kota Ambon, kami pun meninggalkan sekolah, mengarah menuju pantai Natsepa. Niatnya pengen menikmati rujak pantai Natsepa. Namun, rekan saya mengajak menikmati makan siang terlebih dahulu sebelum makan rujak. Jadilah dalam perjalanan ke Natsepa, kami singgah di Resto Sari Gurih Ambon.

Tentang Resto Sari Gurih Beach Ambon
Resto Sari Gurih Ambon terletak di tepi teluk Ambon, tepatnya ada di jalan Wolter Mongisidi, Lateri, Baguala Kota Ambon.
Saat kami sampai di resto, tak banyak mobil terparkir di depan resto. Kami lalu masuk ke dalam resto, ada meja penerima tamu dan beberapa set meja kursi untuk pengunjung. Petugas menanyakan memerlukan meja untuk berapa orang, lalu di sambung mau duduk di dalam atau di area depan saja.
Tuan rumah yang menemani saya mengatakan ingin duduk di dalam, jadi kami di persilakan untuk masuk. Melewati lorong penghubung darat dan bagian laut, berupa jembatan kayu yang kokoh. Rupanya di bagian dalam areanya lebih luas. Di sini juga kita bisa melihat pemandangan Teluk Ambon dan jembatan merah putih di kejauhan.

Ruang makan di area dalam ini berada di atas teluk Ambon. Tiang-tiang penyangga diatas pondasi beton, yang terlihat jelas karena air sedang surut. Pagar kayu sebatas pinggang menjadi pembatas dan pengaman di area makan.


Usai petugas mencatat menu yang di pesan, sambil menunggu, saya pun berkeliling area resto sari gurih beach. Memandang ke arah Teluk Ambon dan juga jembatan merah putih di kejauhan. Pemandangan langka bagi saya, butuh perjalanan jauh dan juga biaya yang tak sedikit. Bersyukur, saya bisa sampai di sini karena urusan pekerjaan, jadi urusan biaya saya tak perlu pusing memikirkan. Tinggal siapkan tenaga dan waktu saja.

Menikmati Ikan Bakar Ala Resto Sari Gurih
Saya tak begitu memperhatikan tadi tuan rumah memesan menu apa, karena sebagai tamu, saya menyerahkan sepenuhnya pilihan menu pada tuan rumah. Jadi begitu buku menu disajikan, saya langsung fokus pada pilihan menu minumnya, dan pilihan saya adalah kelapa muda.


Setelah berkeliling, berfoto, mengobrol, barulah satu persatu pesanan makanan datang. Yang pertama di tata oleh pramusaji adalah mangkok kecil dengan tatakannya di depan setiap orang, lalu piring besar di tepi meja. Setelah itu nasi dalam bakul bambu kecil, ikan bakar lengkap dengan sambal, tumis kangkung dan bunga pepaya, lalu pesanan minuman kami.


Terus mangkok kecilnya buat apa ya?
Tuan rumah sudah mempersilakan makan, saya pun lalu mencuci tangan di wastafel tak jauh dari tempat kami duduk. Menyantap ikan bakar tuh lebih nikmat kalau menggunakan tangan. Sepotong ikan bakar dan tumis kangkung bunga pepaya segera mengisi piring di depan saya. Tanpa nasi ya, karena kan ini aja sudah bakal bikin perut saya kenyang. Apalagi masih ada mangkok yang saya tak tahu buat wadah apa.

Papeda dan Ikan Kuah Kuning, Kuliner Khas Timur Indonesia
Baru dua suap saya makan, pramusaji datang lagi. Kini membawa wadah seperti periuk tanah liat, beserta wadah porselin putih. Rupanya menyajikan papeda beserta ikan kuah kuning.

Begitu tutup wadah porselin putih di buka, ada wangi kunyit, serai, daun kemangi, dan sedikit asam segar dari jeruk nipis. Saya melihat tuan rumah mengambil ikan kuah kuning lalu menaruh dalam mangkuk kecil. Oh rupanya mangkok itu untuk wadah makan ikan kuah kuning.
Saya pun lalu mengikuti, mengambil sepotong ikan dan juga kuahnya. Kuahnya segar, ada rasa asem-asemnya, ikannya lembut. Saya lupa apa nama ikannya. Yang pasti saya suka rasanya.
Untuk menikmati papeda, ada piring lain yang lebih cekung, mirip kayak piring makan saya di rumah. Papeda merupakan makanan khas Maluku dan Papua yang terbuat dari sagu. Penampakannya seperti lem kental, berwarna bening keputihan,
“Kalau mau ambil, pakai sumpit atau garpu, putar begini, baru tarik,” ujar tuan rumah sambil mencontohkan gerakannya.
Saya mencoba mengikuti, mengambil sumpit bambu yang memang disediakan bersama saat penyajian papeda tadi. Bukan sumpit sebenarnya, karena ukurannya lebih besar. Satu saya pegang di tangan kanan, satu di tangan kiri. Keduanya di masukkan ke dalam sajian papeda, lalu saya memutar kedua sumpit dalam posisi horisontal, hingga menarik papeda yang lentur itu. Lalu memindahkan ke piring.
Papeda yang dipiring kemudian di siram kuah kuning, tentu saja saya sertakan juga sepotong ikan. Lalu mulailah menyendok papeda yang sudah tercampur ikan dan kuah, memasukkan ke dalam mulut. Papeda yang netral berpadu sempurna dengan gurihnya ikan serta asamnya kuah kuning. Ada sedikit rasa pedas juga di kuahnya, menambah nikmat rasanya.
Sebuah Pengalaman yang Memanjakan Lidah
Makan di Sari Gurih Beach Ambon bukan sekadar mengisi perut, tapi juga pengalaman budaya. Di setiap suapan papeda dan ikan kuah kuning, saya seperti merasakan kehangatan masyarakat timur, sederhana, hangat, dan penuh cerita.
Sambil makan, bahkan juga setelah selesai makan, kami berbincang tentang berbagai hal, salah satunya tentang kebiasaan makan orang Indonesia Timur. Dari percakapan inilah, saya memperoleh informasi bahwa papeda itu bukan cuma makanan, tapi simbol kebersamaan. Papeda biasanya dimakan ramai-ramai, berkumpul semua anggota keluarga, supaya makin terasa nikmatnya. Momen saat makan bersama ini bukan hanya soal mengisi perut, tapi menjadi tempat saling bercerita aktivitas masing-masing, hingga menyelesaikan permasalahan dalam keluarga.
Kehadiran di sana makin berkesan, karena ada live music yang menemani kami makan. Penyanyi pria yang menyanyikan lagu-lagu dengan musik rancak, membuat kepala sesekali mengangguk mengikuti iramanya. Kadang kaki pun ikut bergoyang. Lagunya kebanyakan berbahasa lokal sana, ada juga lagu pop Indonesia. Ah, kalau di Ambon ini suara penyanyinya emang bagus-bagus sih, kata tuan rumah, kalau orang Ambon asli, pasti bisa bernyanyi dan suaranya bagus.

Saya pun meninggalkan Resto Sari Gurih Beach Ambon dengan perut kenyang dan hati hangat. Di perjalanan, saya berpikir, mungkin inilah kekuatan kuliner Nusantara, bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang kisah dan kebersamaan di balik setiap hidangan.