Dua hari ini saya mendapatkan tugas untuk mengawal kegiatan uji coba pelaksanaan ujian seleksi Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi Calon Guru Penggerak (CGP) dan Guru Penggerak (GP) yang dilakukan secara online.
Saya harus bergantian memantau 5 buah zoom, mengamati dan membuat laporan pelaksanaan kegiatan serta rekomendasi tindak lanjutnya.
Sementara dalam waktu bersamaan, saya masih menjalankan tugas juga sebagai peserta Bimbingan Teknis Pendampingan Implementasi Pembelajaran yang dilakukan secara online menggunakan media Google Meet.
Jadilah saya pakai 2 laptop, satu untuk GMeet dan zoom. Satu lagi untuk Zoom. Gmeet nya selalu standby, sementara untuk zoom saya berulangkali keluar dan masuk ke 5 ruang meeting menggunakan 2 laptop itu.
Nggak pusing?
Jangan nanya pusingnya. Karena kali ini saya mau bahas mengenai bersyukur.
Kisah Para Pejuang Sinyal
Hari ini di group pengawas, saya memperoleh kiriman foto bagaimana salah satu peserta melaksanakan ujicoba ujian di luar ruangan. Bukan di teras, halaman rumah ataupun halaman sekolah. Melainkan di puncak bukit.
Guru di Kepulauan Riau ini harus menempuh perjalanan yang tak mudah. Mendaki bukit yang tentu jalannya tak lebar dan mulus, membawa perlengkapan untuk bisa online di puncak bukit dengan nyaman. Dengan berpakaian rapi pula.
Sudah sampai puncak bukit pun, nyatanya sinyal nggak bisa stabil selama pelaksanaan ujicoba, beberapa kali koneksi terputus sehingga beliau harus mengulangi lagi. Sungguh berat ya tinggal di daerah 3T.
Yang membuat saya salut, pak guru ini tak mau menyerah begitu saja. Beliau tetap bersemangat untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa di daerah 3T, siap berkompetisi dikancah kabupaten/provinsi, bahkan tingkat nasional dan tdk menyerah dengan keterbatasan sarana prasarana dan mungkin juga finansial.
Mensyukuri Apa yang Dimiliki Saat Ini
Kiriman foto itu membuat saya malu. Saya yang tiap hari di kantor bisa mudah mengakses internet tanpa batas, di rumah pun koneksi internet selalu ada dan stabil, tapi tidak memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya.
Saat koneksi lelet sudah menurunkan semangat untuk mengerjakan tugas, segera menggerutu dan protes pada penyedia layanan. Padahal leletnya itu paling nggak sampai dalam hitungan jam, setelah itu koneksi bisa kenceng lagi.
Saya jadi merasa menjadi manusia yang tak bersyukur. Sungguh saya malu pada para guru pejuang sinyal itu. Lebih malu lagi, bahwa untuk menyadari segala fasilitas yang saya miliki, saya mesti memperoleh pembanding terlebih dahulu.
Semoga kisah pejuang sinyal ini menyadarkan kita semua, untuk selalu mensyukuri apa yang ada dalam diri kita. Jangan menunggu ada pembanding, baru bersyukur.
Wah guru penggerak diprioritaskan buat ikut PPG y sekarang? Aku udah duluan sih PPG nya hehe
Terharu dengan semangat teman-teman guru yang berjuang untuk upgrade skill secara online, walaupun tidak mudah. Orang lain mungkin udah nyerah aja deh…Tahu sendiri kalau internet lup-lep, kezelnya sampai ubun-ubun…
ternyata kekuatan provider belum sepenuhnya menyeluruh ya, semoga kedepannya bisa bisa merata ya. terutama untuk tenaga pendidik dan pemilik usaha. kebetulan saya punya keluarga besan di kepulauan Riau. alhamdulillah sih komunikasi visa sosmed lancar.
masyaallah perjuangannya sampai naik ke bukit untuk mencerdaskan anak bangsa, sehat-sehat ya bapak dan ibu guru, kalian benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa
Di tengah maraknya isu digitalisasi, masih banyak orang yang kesulitan untuk mencari sinyal. Aku juga jadi tertampar membaca ini mengingat untukku sendiri gampang banget untuk mencari sinyal, tiduran di kamar pun sinyal sudah full