Tana Toraja yang berjarak sekitar 300 km dari Makassar telah lama menjadi salah satu kota yang ingin saya kunjungi. Pemicunya adalah saat saya kecil melihat tayangan di televisi tentang desa Kete Kesu serta pemakaman di sana.
Alhamdulillah, satu per satu keinginan saat saya kecil kini terwujud, salah satunya berkunjung ke Tana Toraja. Akhir November 2024, saya memperoleh penugasan untuk berbagi dengan anak-anak di Toraja.
Penerbangan dari Surabaya ke Tana Toraja tidak setiap hari ada. Adanya seminggu 2 kali, itupun harga tiketnya sangat mahal, hampir 5 juta untuk sekali jalan. Sementara panitia kegiatan di sana hanya menganggarkan biaya transportasi dari Malang ke Tana Toraja sebesar maksimal 2,5 juta.
Jadilah dari Malang ke Surabaya saya naik travel, lanjut Surabaya ke Makassar naik pesawat. Saya sengaja mengambil penerbangan terakhir, sekitar jam 10 dari Surabaya. Karena info dari panitia, bus ke Tana Toraja berangkat dari Makassar jam 9 pagi.

Jika saya mengambil penerbangan paling pagi dari Surabaya, pesawat akan mendarat jam 8 an di bandara Sultan Hasanuddin. Takut bakal terburu-buru, atau resiko paling buruk pesawat delay, pastilah saya bakal ketinggalan bus ke Tana Toraja.
Menempuh Perjalanan Darat Makassar – Tana Toraja
Lewat tengah malam saya sampai Makassar. Turun dari pesawat, saya menuju Mushola yang ada di dekat pintu keluar bandara. Ternyata ada beberapa penumpang juga yang menuju mushola, menunggu hari terang untuk keluar bandara ataupun melanjutkan perjalanan.
Usai sholat subuh saya jajan sarapan di salah satu minimarket yang buka 24 jam di dekat area parkir, sambil menunggu di kontak oleh pihak bus. Panitia sudah memesankan bus Makassar ke Tana Toraja, infonya nanti pihak bus akan langsung kontak saya.
Sekitar jam 7 pihak bus mengontak saya, menanyakan posisi saya di mana. Setelah tahu saya ada di bandara, lalu mengarahkan saya untuk keluar bandara, menuju ke jalan poros, ke toko roti Maros Setia Kawan 1 dan menunggu di sana.
Beruntung ada pengemudi taksi online yang mau mengantar saya. Ceritanya pengemudi itu baru saja menurunkan penumpang, melihat saya berdiri di depan minimarket, dia menawarkan untuk mengantar saya. Alhamdulillah pengemudinya baik, mengantar saya hingga ke tujuan, bahkan menolak uang lebih yang saya berikan.

Sekitar 30 menit menunggu, bus pun datang. Ternyata saya memperoleh tempat duduk paling depan. Bus nyaman, tempat duduk 2-1 jadinya longgar. Ada sandaran untuk kaki juga, jadi perjalanan sekitar 8 jam ke depan pegal di kaki bisa diminimalisir. Ongkosnya 200 ribu per orang.

Beberapa penumpang turun saat bus berhenti di Toko roti Maros ini, mereka berbelanja roti dan penganan lain, untuk bekal di perjalanan dan juga oleh-oleh bagi sanak saudara di Tana Toraja.
Dalam bus, saya duduk bersebelahan dengan seorang wanita paruh baya. Beliau menanyakan asal saya dan sudah berapa kali ke Toraja. Mengetahui saya dari jauh dan baru pertama kali ke Tana Toraja, Beliau berpesan untuk tak usah risau ke Toraja. Walau mayoritas penduduk di sana non muslim, tapi sudah banyak tempat makan halal di sana. Penduduknya juga ramah dan memiliki toleransi beragama yang tinggi.
Menjelang tengah hari, bus berhenti di sebuah rumah makan di tepi pantai. Saya lupa daerah mana. Ibu di sebelah saya memberitahu kalau pemilik rumah makan itu muslim, jadi tak perlu risau dengan makanan disitu.

Setelah beristirahat sekitar 1 jam di rumah makan, bus pun melaju lagi. Silih berganti pemandangan pantai dan gunung kami lalui. Maros, Pangkep, Barru, Pare-pare, Sidrap. Perjalanan berlanjut melalui Enrekang, sebelum akhirnya tiba di Tana Toraja. Menjelang isya saya sampai di tujuan. Masih di pinggiran Tana Toraja. Masih butuh sekitar 1 jam lagi untuk sampai ke Makale ibu kota Tana Toraja.


Menginap di Hotel Sahid Toraja
Saya menginap di Hotel Sahid Toraja, posisinya agak tinggi, dari jalan raya harus menempuh jalan menanjak untuk sampai di lobby hotel. Lobbynya kecil.
Keesokan harinya barulah saya dapati bahwa bangunan hotelnya tuh tersebar. Ada beberapa bangunan, mungkin menyesuaikan dengan kontur tanah. Atau memang konsepnya kayak bungalow atau villa.

Usai mandi, saya menuju ruang makan. Di depan ruang makan terdapat taman dan kolam renang. Beberapa bangunan khas Tana Toraja, tongkonan, ada di tepi kolam.

Ruang makan sepi saat saya masuk. Hanya ada satu tamu pria warga negara asing yang sedang menikmati sarapannya. Karena Toraja terkenal dengan kopinya, tentu saja saya memilih kopi saat ada petugas menawarkan mau minum kopi atau teh.


Dalam hening, saya menikmati kopi dan sepiring roti bakar. Sesekali mengedarkan pandang ke sekeliling, merekam suasana di sekitar area makan. Petugas juga menambahkan secangkir susu dan satu gelas jus tamarillo di meja saya. Hidangan sederhana yang mampu membuat lambung saya penuh, dan siap menjadi energi untuk pekerjaan seharian nanti.

Berbagi dengan Anak-anak Toraja
Usai sarapan dan berkemas, saya menunggu jemputan. Pagi ini sekalian chek out karena nanti malam harus balik lagi ke Makassar. Iya, saya cuma sehari di Tana Toraja.
Tak lama menunggu, jemputan pun datang. Setelah panitia mengurus pembayaran kamar hotel, kami pun berangkat menuju ke lokasi saya bertugas, SMK Andika Mebali, Tana Toraja. Sekolah swasta di pinggiran kabupaten Tana Toraja. Sekolah kecil yang memiliki mimpi besar bagi para lulusannya.
Saya bertemu dengan para siswa jurusan Teknik Alat Berat, yang menurut kepala sekolah, paling banyak peminatnya dibanding jurusan lain. Keberadaan tambang di Morowali rupanya menjadi salah satu pemikatnya. Terbukti saat berbincang dengan anak-anak, rata-rata mereka ingin bekerja ke Morowali setelah lulus sekolah nanti.
Keberadaan program SMK Pusat Keunggulan sangat membantu pihak sekolah, karena dapat menjalin kerja sama dengan industri besar, salah satunya adalah United Tractors yang memberikan bantuan beberapa alat berat untuk kelengkapan sarana praktik bagi anak-anak.


Beberapa anak juga menceritakan perjuangannya, perjuangan orang tuanya, supaya mereka bisa bersekolah di SMK Andika Mebali ini. Cerita-cerita yang membuat mata saya jadi kabur, karena titik-titik air mata mulai muncul.
Semoga akses pendidikan di kota kecil ini semakin terbuka, semoga makin banyak anak yang bisa memperoleh pendidikan yang layak dan meraih mimpinya.
Sekitar jam 2 kegiatan selesai. Setelah sholat dan makan, kepala sekolah mengajak saya menuju Makale, ibu kota Tana Toraja. Niatnya sekalian mengantar saya ke pool bus Metro Permai. Jadwal bus ke Makassar nanti jam 8 malam. Masih ada waktu beberapa jam sebelum bus berangkat.
Singgah ke Makale, Ibu kota Tana Toraja
Sepanjang perjalanan ke Makale kami melewati area persawahan di kanan kiri, bukit-bukit batu dan juga perkampungan, berselang seling.
Saat melewati perkampungan, saya melihat ada beberapa rumah yang di depannya ada bangunan tongkonan, rumah adat masyarakat Tana Toraja. Kepala sekolah bercerita bahwa untuk membuat tongkonan itu bisa menghabiskan biaya ratusan juta. Tongkonan juga menjadi simbol tingginya status sosial di masyarakat.

Tongkonan di bangun menggunakan kayu uru, yang harganya mahal, untuk tiang, dinding dan lantainya. Sementara atapnya menggunakan bambu dan alang-alang. Tongkonan di bangun tanpa menggunakan bahan logam, pasak dari kayu digunakan sebagai paku untuk pengikat antar bagian. Tapi seiring perkembangan jaman, saya lihat ada juga kini yang atapnya menggunakan seng.

Di dinding tongkonan, terdapat ukiran-ukiran kecil, detail dan berwarna-warni. Ukiran pada dinding tongkonan bukan sekadar hiasan, tapi sarat makna filosofis. Beberapa bentuk ukiran dan makna filosofisnya adalah:
- Motif anyaman dan spiral, menggambarkan keseimbangan hidup dan kematian.
- Kerbau, simbol kekayaan dan status sosial.
- Ayam jantan, melambangkan keberanian dan kesiapan untuk berperang.
- Padi dan jagung, simbol kemakmuran dan kesuburan.
- Lingkaran matahari, melambangkan kekuasaan dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Setiap ukiran biasanya dicat dengan warna khas, yaitu merah (kehidupan), hitam (kematian), putih (kesucian), dan kuning (berkah dan kemuliaan). Proses mengukir dilakukan secara manual, dikerjakan oleh pengrajin yang berpengalaman, dan bisa memakan waktu berbulan-bulan untuk pengerjaannya.
Menjelang masuk Makale Tana Toraja, terdapat bukit batu menjulang. Kami berhenti sejenak di sini, mengabadikan beberapa foto, lalu melanjutkan perjalanan.

Kota Makale tidak terlalu besar, pun tak terlalu ramai. Kami mengendarai mobil dengan pelan, tak butuh waktu lama kami sudah selesai mengelilingi kotanya.

Kepala sekolah ingin mengajak saya menuju patung Yesus yang ada di ketinggian, sambil melihat pemandangan Tana Toraja dari atas. Namun, mobil tua yang kami pakai tak kuat menanjak. Menghindari resiko, kami memutuskan untuk tak jadi naik, malah beralih menikmati semangkuk es teler di pinggir jalan.
Penjualnya dari Jawa, pembeli datang silih berganti. Ada yang makan di tempat seperti kami, tapi lebih banyak yang meminta di bungkus untuk di bawa pulang. Para penjual makanan di Tana Toraja kebanyakan memang perantau dari Jawa, ataupun pendatang dari Makassar.
Usai menikmati es teler, kami menuju pool bus. Ternyata tempatnya sempit, hanya ada beberapa kursi untuk menunggu. Akhirnya kepala sekolah mengajak saya untuk kembali ke sekolah saja, menunggu di sana. Setelah konfirmasi ke agen bus, minta di jemput di sekolah saja dan minta di kabari kalau bus sudah berangkat dari Makale.
Kenapa nggak extend sehari dan jalan-jalan ke Kete Kesu?
Karena besok pemilu! Iya, jadi saya bertugas ke Toraja tuh 25 – 27 November. Dan 27 November 2024 itu pemilu. Khawatir saya bakal sulit memperoleh angkutan ataupun orang yang bisa mengantar saya ke sana. Semoga lain kali saya bisa ke sana lagi, di waktu yang tepat dan longgar.
Sekitar jam 9 saya naik bus, mengatur sandaran kursi, memasang selimut dan tak lama kemudian tertidur. Beberapa kali terbangun saat bus berhenti, karena ada penumpang yang mau ke toilet, ataupun kru bus yang mau istirahat dan ngopi.
Sekitar jam 4 dini hari bus sampai Makassar. Enaknya naik bus dari Toraja tuh, bagi penumpang yang turun di bandara, langsung di antar sampai ke bandara, jadi nggak perlu ganti angkutan lagi.

Mengambil penerbangan paling pagi, saya kembali ke Surabaya dan lanjut ke Malang. Walau belum puas mengeksplorasi Tana Toraja, saya sudah cukup bahagia, sudah menginjakkan kaki dan mengabadikan beberapa momen saat di sana.
Saya mikirnya di awal juga gitu…kenapa enggak extend dulu, eh ternyata ke Toraja pas H-1 Pemilu..
Alhamdulillah meski hanya sehari sudah menginjakkan kaki di Tana Toraja ya Mbak… sekaligus bisa berbagi ilmu dengan anak muda penerus bangsa yang meski dengan banyak keterbatasan punya tekad dan semangat untuk sukses di masa depan.
Seru banget baca ceritanya! Walau kunjungannya singkat, tapi kesan yang ditinggalkan pasti mendalam ya. Tana Toraja memang punya budaya dan kearifan lokal yang luar biasa. Salut juga karena kunjungan ini bukan sekadar wisata, tapi juga ada misi berbagi pengalaman. Semoga bisa kembali lagi ke sana dengan waktu yang lebih panjang!
Duh saya ikut mendoakan semoga akses pendidikan di kota kecil di Toraja sana itu segera semakin terbuka, ya ..
semoga makin banyak anak yang bisa memperoleh pendidikan yang layak dan meraih mimpinya. Aamiin…
Walau sehari saja tapi sangat berkesan ya ini pengalaman nya
Luar biasa pengalamannya mbak. Dari pulau Jawa hinggap juga ke Sulawesi dan sampai juga di Tana Toraja. Meskipun cuma satu hari tapi kenangannya pasti membekas. Semoga next bisa lamaan lagi di sana aamiin
Pengennnnn……
destinasi solo traveling (yang jauh) ke sini aja ah
Selama ini mikirnya Tana Toraja adalah kawasan yang tak mungkin saya jangkau
Setelah baca review Mbak Nanik, rasanya kok bisa ya, asal saldo bank cukup. lets go deh 😀
Perjalanan yang apik kak Nanik di tana Toraja. Yang bikin kesemsem pas yang di penginapan, untungnya pas gak terlalu ramai ya, jadi bisa menikmati hidangan sekalian melihat taman yang ada di hadapan
Selalu seneng baca perjalanan dinas mbak Nanik, seruu.
Apalagi kalau udah ke desa-desa.
Mandang foto-fotonya aja serasa ikut kesana deh.
Sering-sering dinas yaa mbak, biar makin banyak ceritanya hehee
Wow Toraja salah satu daerah yang pengen aku kunjungin karena kaya budaya dan khas banget.
Alhamdulillah ya mbak bisa sharing pengalaman dengan anak2 di sana, semoga jadi jalan pembuka mereka untuk mengejar impian2 mereka dan memajukan daerahnya.
Kyknya di sana juga banyak muslim jadi udah gak khawatir soal makanan ya walau banyak yang non Islam.
Tongkonan itu unik ya, udah pasti pakai kayu mahal yang awet bertahun2. Semoga bangunan2 asli Toraja gini tetep awet dipertahankan ya di sana.
MashaAllah Mbak Nanik. Tulisan ini bikin saya kangen dengan Tana Toraja. Saya ke sini di 2000. Saat itu saya dinas ke sana untuk mencoba jaringan telepon tanpa satelit yang operatornya adalah perusahaan tempat saya bekerja. Saat itu Makale masih sepi banget dan saya susah cari makanan halal. Jadi harus pesan khusus sama hotel. Itu pun sejujurnya saya masih ragu dengan kebenaran halalnya.
Saya ingat naik mobil travel (hiace) dari Makassar dan melalui 8 jam jalanan darat melewati pegunungan Nona. Sama lamanya seperti bis yang Mbak Nanik naiki. Sempat berhenti di salah satu kedai di sana buat ngopi sembari menikmati pemandangan alam, bukit, dan hutan yang lebat. Saat memasuki kota, seingat saya, dulu disambut dengan salib besar banget. Keknya terbuat dari kayu yang tebal.
Saya sempat extend stay di Makale karena di salah satu desa akan diadakan upacara Rambu Solo. Sayang banget kan kalau dilewatkan.
Saya tuh baca cerita Tana Toraja pertama kali dari teman blogger juga. Waktu itu dia cerita soal adat kalau ada orang meninggal. Agak menyeramkan buatku. Tapi, hal itu bikin aku juga pingin mengunjungi Tana Toraja.
Sayang banget ya, mbak. Sampeyan nggak extend waktu lebih untuk eksplore. Biar saya bisa baca cerita lebih tentang Tana Toraja.
Masya Allah..indah banget itu viewnya. Saya hampir 20 tahun pernah tinggal di Makassar, kok ya bisa-bisanya belum menyempatkan diri jalan-jalan ke Tana Toraja. Sekarang udah tinggal di Lombok, pengen ke sana yaa jauh. Lebih mikir-mikir lagi ahahahah.
Masya Allah..indah banget itu viewnya. Saya hampir 20 tahun pernah tinggal di Makassar, kok ya bisa-bisanya belum menyempatkan diri jalan-jalan ke Tana Toraja. Sekarang udah tinggal di Lombok, pengen ke sana yaa jauh. Lebih mikir-mikir lagi ahahahah.
Aih ke tanah toraja memang selalu membuat bahagia ya kak. Kulinernya enak enak apalagi wisatanya keren juga seneng banget jadinya
masyaallah. semangat berbagi sampai menempuh perjalanan jauh ya. semoga barokah ilmunya dan bisa lebih banyak lagi menebar manfaat