Ke Makassar kok bukannya makan coto, malah makan ayam penyet? Ayam penyet di Malang juga banyak, bikin sendiri di rumah juga bisa. Begitu kali ya, tanggapan spontan kalau saya bilang di Makassar kemarin, saya bukannya menikmati coto tapi malah ayam penyet. Tapi sebelum menanggapi, baiknya baca kisahnya dulu. Pasti ada dong penyebabnya kenapa saya malah makan ayam penyet di Makassar.
Jadi begini. Pas malam tahun baru Imlek kemarin, kan saya kebetulan ada tugas di Makassar. Karena ada miskomunikasi antara pimpinan saya dan pihak pengundang, sehingga saya nggak dapat fasilitas makan selama di sana. Cuma dapat sarapan aja, karena memang fasilitas dari hotel. Jadilah, saya harus cari makan sendiri. kebetulan saya diinapkan di Same hotel, yang letaknya tidak jauh dari Pantai Losari. Jadi timbullah keinginan untuk makan malam di tepi pantai.
Lalu saya pun berjalan kaki, menyusuri jalan Somba Opu menuju pantai Losari. Rame sekali malam itu, eh mungkin juga tiap hari memang ramai. Menyusuri pantai sebentar, sambil jeprat-jepret, lalu mencari warung makan. Saya pun menyeberang jalan. Tapi yang ditemui sepanjang jalan, kok cuma kios penjual pisang epe saja. Saya butuh makan besar, bukan camilan.
Dan saya pun terus saja berjalan, berharap ketemu warung nasi. Sampai akhirnya nemu warung yang banyak sekali sepeda motor parkir didepannya. Dari luar juga terlihat pengunjungnya banyak. Masuklah saya kesitu, namanya ayam penyet pak Tjomot.
Setelah mendapat tempat duduk, ada pramusaji yang menghampiri dan membawa daftar menu. Lumayan banyak. Saya tanya aja apa yang paling khas disitu. Dia menjawab nasi timbel ayam penyet. Maka saya pun memesannya. Pramusaji itu lalu pergi dan saya melihat sekeliling. Lalu mata saya tertumpuk ada layar komputer di dekat meja saya.
Melihat layar komputer ini, saya jadi ingat salah satu mahasiswa saya dulu, yang mengembangkan aplikasi seperti ini. Jadi dilayar sudah ada data dan denah nomor meja. Meja mana yang sudah terisi dan meja mana yang masih kosong. Setiap selesai mencatat pesanan pengunjung, para pramusaji akan memasukkan datanya ke aplikasi ini.
Pertama, pramusaji memilih nomor meja. Lalu memasukkan username dan password. Lalu memilih menu makan dan minum sesuai pesanan pengunjung serta jumlahnya. Sudah tertera daftar makan/minum serta harganya di aplikasi tersebut. Jika sudah selesai, maka pesanan pengunjung akan di cetak. Struknya di berikan pada pengunjung, sebagai sarana kontrol terhadap kebenaran pesanan. Struk ini harus diserahkan pada saat membayar di kasir. Sebenarnya nggak usah menyerahan struk ini juga tidak masalah sih. Dengan menyebutkan nomor meja, kasir akan tahu pesanan kita.
Setelah menerima struk, tunggu beberapa saat, maka pesanan akan datang. Dan inilah penampakan pesanan saya.
Nasi timbel, plus ayam, tahu tempe dan ikan asin goreng. Lengkap dengan sambal dan lalapannya, ditambah semangkok kecil sayur asem. Langsung cuci tangan dan makan deh. Nasi timbelnya tidak sesuai harapan, nasinya keras. Biasanya kalau di jawa, nasi timbelnya pulen, agak lemes. Jadi nasi timbelnya ini nasi biasa, ditabur sambal tempe, terus digulung pakai daun pisang. Tahu gorengnya asin, giliran tempe dan ayamnya, nggak ada rasanya. Tempenya juga terasa bukan tempe baru, mungkin sudah 2 atau 3 hari ada di kulkas. Tapi karena lapar, dilahap juga. Lauknya lho ya…, nasinya cuma habis setengah. Ya, karena nasinya keras dan sudah dingin.
Terakhir, sayur asemnya. Kecut, seger. Ini baru pas. Harga untuk seporsi nasi timbel ayam penyet ini adalah 28 ribu rupiah. Mahal atau murah itu relatif ya…
Itulah kisah saya terdampar di ayam penyet pak Tjomot.