Akhirnya, setelah lama memendam keinginan untuk membaca buku-buku Tere Liye, kini kesampaian juga. Karya Tere Liye yang pertama saya beli adalah serial anak-anak mamak. Langsung empat buku. Gara-gara terprovokasi tulisan Dani di sini. Berhubung nggak sempat ke toko buku, jadi pesan lewat toko buku online langganan.

Buku yang pertama saya baca adalah Pukat.

Dalam ceritanya, pukat ini anak kedua. Kakaknya perempuan, Eliana. Adiknya ada dua, satu lelaki bernama Burlian, satu perempuan bernama Amelia.

Kisahnya diawali dengan cerita kejeniusan pukat dalam menemukan cara untuk mengenali para perampok yang beraksi dalam kereta api. Kala kereta sedang berada dalam terowongan, dalam kondisi gelap gulita, tiba-tiba kereta yang ditumpangi pukat, burlian dan ayahnya terhenti. Lalu segerombolan perampok mulai beraksi. Dalam kondisi gelap, bagaimana pukat bisa mengenali para perampok itu?

Rupanya bubuk kopi menjadi sarananya. Jadi, saat dua orang perampok mendekati kursi pukat, pukat menaburkan bubuk kopi ke arah kaki para perampok. Berdasarkan aroma kopi inilah para perampok akhirnya dapat tertangkap.

Pukat, anak kampung yang cerdas, kreatif, teguh pendirian dan tentu saja nakal.

Masalah kecerdasan, tak diragukan lagi. Saat warung didekat sekolah tutup karena tak ada yang menjaga, maka Pukat mencetuskan sebuah ide. Ide yang awalnya diragukan oleh pak Bin, gurunya. Diragukan oleh bu Ahmad, pemilik warung. Namun Pukat tetap yakin bahwa idenya akan berhasil, sehingga jadilah warung bu Ahmad dibuka tanpa ada yang menunggui. Ada beberapa insiden kecil dalam warung tanpa penunggu. Namun semua dapat terselesaikan dengan baik.

Kreatif. saat teman-temannya membeli perahu mainan, maka pukat memilih bereksperimen membuat perahu sendiri. Memanfaatkan kaleng-kaleng di dapur, membuat mamaknya marah karena kaleng yang masih digunakan, diserobot seenaknya olah pukat.

Teguh pendirian. Jika punya kemauan, maka harus dilakukan. Lihatlah kisahnya berjualan duku dipasar, berdua saja dengan Burlian. Dia sering jengkel karena saat menemani mamaknya jualan, mamaknya selalu mengiyakan saja jika ada orang yang menawar dagangannya, bahkan meminta lebih. Pukat yakin, jika dia yang berjualan, maka pasti dia akan memperoleh uang yang lebih banyak dibanding yang diperoleh mamaknya. Jadilah, mamaknya memberikan kepercayaan pada pukat untuk berjualan. Walau ternyata, dagangan pukat tak habis, walau ternyata hanya memperoleh uang sedikit, namun pukat memperoleh banyak pelajaran dari situ.

Nakal. Sering malas-malasan menghabiskan sarapan sehingga membuat mamaknya mesti mengomel tiap pagi. Sering kabur berlama-lama bermain, padahal mamak memberi tugas untuknya. Dan yang paling parah adalah dia sampai mengalami luka bakar, gara-gara keasyikan bermain.

Pukat, yang dibesarkan dalam kesederhanaan. Dibesarkan untuk teguh memegang prinsip hidup, akhirnya memang menjadi orang besar.

Membaca buku ini, sesekali saya menerawang, ingat masa-masa kecil dikampung. Mandi disungai, menggembala kambing, mencari rumput untuk kelinci, mencari kayu bakar, mencari buah jambu monyet. Sungguh menyenangkan.

Banyak pelajaran dan nilai-nilai baik dalam buku ini. Bahkan, anak-anak saya pun menyukai saat saya membacakan buku ini.

Baca yang ini juga

10 thoughts on “Pukat

  1. Wah..jadi ingin baca juga buku ini.. 🙂 Oya mbak, msh ada 3 buku lainnya kan? nah…ikutkan di lomba resensi fiksi saja tuuh… 🙂

    1. kalau resensi kan kayaknya ada aturannya ya mbak, Ini kan tulisan bebas aja 🙂

  2. Tulisan Tere-Liye dengan genre lain ya Jeng Naniek, eh tetap memikat koq. Membaca postingan ini catat ah untuk bacaan berikutnya. Trim ya Jeng

  3. saya sudah baca keempat serial anak-anak mamak ini, dan barangkali hampir semua karya Tere Liye sudah saya baca, yang terbaru dan belum sempat beli adalah Rindu, baru sempat pegang-pegang tapi karena waktu itu keuangan nda memungkinkan maka sementara ditunda dulu.
    Buat saya, Tere Liye TOP BGT.

    1. Setelah baca Pukat, saya juga tertarik untuk baca bukunya yang selain serial anak-anak mamak. Nabung dulu nih, biar bisa borong 🙂

  4. Pingback: Amelia | Catatan Kecil Keluarga
  5. Pingback: Eliana | Catatan Kecil Keluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *