Seni berbicara pada anak, panduan mendidik anak tanpa ngegas, adalah buku pertama yang saya baca di tahun 2021. Buku yang isinya kadang terasa menempeleng saya, karena pola komunikasi yang salah yang sering saya lakukan terhadap anak-anak. Membaca buku ini, saya sering berhenti sejenak. Kadang manggut-manggut membenarkan apa yang tertulis. Kadang ingat perlakuan saya pada anak-anak. Kadang diliputi rasa bersalah dan berjanji untuk tak akan mengulangi.
Buku seni berbicara pada anak ini saya rekomendasikan pada Anda agar semakin memahami dunia anak-anak. Saya pun ingin membagikan pengetahuan dan juga pengalaman dari membaca buku ini. Insyaallah akan di buat beberapa seri tulisan. Kali ini, saya akan membahas bagian pertama buku seni berbicara pada anak, yaitu menangani emosi dan memahami perasaan anak
Tentang Buku Seni Berbicara Pada Anak
Buku Seni Berbicara pada anak, panduan mendidik anak tanpa ngegas ini di tulis oleh Joanna Faber dan Julie King. Judul versi aslinya adalah How to talk so little kids will listen, a survival guide to life with children ages 2-7. Terjemahan dalam bahasa Indonesia di terbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer (BIP). Harganya Rp 115.000,00.
Saya membeli buku ini di Gramedia. Langsung tertarik saat membaca judulnya dan makin kuat keinginan untuk memilikinya saat membaca satu paragraf di sampul belakang.
Buku panduan yang ramah pengguna ini akan memberdayakan para orang tua dan pengasuhnya untuk menjalin hubungan yang menyenangkan dengan anak-anak berusia 2 tahun yang tidak bisa diajak bekerja sama, si 3 tahun yang kasar, si 4 tahun yang galak, si 5 tahun yang tidak bisa di atur, si 6 tahun yang egois dan si 7 tahun yang tidak patuh.
Menangani Emosi dan Memahami Perasaan Anak
Saat perasaan anak-anak tidak baik, mereka tidak bisa berperilaku baik
Nggak cuma anak-anak sih, saya yang orang dewasa pun, kala perasaan sedang tidak baik, sering juga tak bisa menahan diri, dan akhirnya tak bisa berperilaku baik.
Saya dulu sering, udah menjelang jam masuk kantor, eh anak-anak merengek minta di temani. Perasaan udah nggak tenang, nggak enak kalau terlambat, sementara ART belum datang juga. Jengkel nunggu ART nggak datang-datang, sementara jarum jam terus menuju angka 7. Sementara, untuk meninggalkan anak-anak di rumah tanda ada orang dewasa yang menemani, nggak mungkin dong.
Saya yang awalnya sabar nemani anak, jadi sering nengok ke arah pintu, perhatian ke anak pun terbagi. Bahkan merasa terganggu oleh celoteh anak yang tak berhenti bertanya, tak berhenti ngajak main. Akhirnya nada suara pun meninggi, menyuruh anak diam.
Duh duh kalau ingat jaman itu, sering merasa menyesal dan juga merasa bersalah sama anak-anak.
Akui Perasaan dengan Kata-kata
Joanna dan Julie menyarankan pada saat anak mengatakan sesuatu yang negatif dan mengintimidasi, maka Anda dapat mengikuti langkah-langkah ini :
- Kuatkan hati dan tahan diri untuk tidak membalas ucapannya
- Pikirkan emosi yang dirasakannya
- Sebutkan emosi itu dan masukkan dalam kalimat
Contohnya nih, Babang sama Toto lagi asyik main lego berdua. Entah apa penyebabnya, tiba-tiba mereka berdua ribut. Lalu Toto mendatangi saya lalu bilang,
“Ma, aku nggak mau lagi main sama Babang” dengan ekspresi wajah cemberut
Sebelum membaca buku ini, maka tanggapan saya adalah beberapa kemungkinan berikut :
- “Kalian rebutan lego ya? Nggak boleh begitu, kan harus berbagi kalau main”
- “Ah, masa? Kalau nggak ada Babang kan Toto jadi main sendiri, nggak seru”
Saat jawaban itu yang saya berikan, biasanya Toto akan makin cemberut, lalu sambil teriak bilang lagi menegaskan sekali lagi kalau dia tak mau main sama Babang.
“Pokoknya aku nggak mau main sama Babang. Mama suruh Babang pergi dari sini”
Lalu Babang akan ngacir masuk kamar dengan wajah cemberut, kadang sambil membanting legonya. Sementara Toto pun mood nya untuk bermain lego juga sudah hilang. Padahal kini semua lego bisa dia kuasai sendiri.
Setelah membaca buku ini, saat Toto mendekat dan bilang kalau dia tak mau main lagi sama Babang, maka tanggapan saya pun jadi berbeda. Saya jongkok untuk mensejajarkan tinggi kami, lalu bilang
“Toto lagi marah sama babang ya? Kadang memang jadi nggak asik ya kalau Toto mau lego warna biru, tapi Babang juga maunya warna biru. Jadi rebutan deh kalian”
Saya berusaha mengakui perasaannya, yaitu jengkel pada Babang. Saya tak menyalahkan Toto maupun Babang. Saya memeluk Toto sebentar. Setelah itu dia tenang. Lalu dia balik menghampiri Babang, dan mereka kembali asyik main berdua.
Akui Perasaan dengan Tulisan
Melihat keinginan dan perasaan anak-anak secara tertulis, akan berdampak besar, terutama bagi anak-anak pra sekolah.
Misalnya nih, ngajak anak ke toko mainan. Melihat anek macam mainan, kadang ada anak yang pengen beli banyak jenis mainan. Mobil-mobilan, robot, lego, pedang, topeng. Sementara uang di dompet nggak cukup buat membeli itu semua.
Biar anak nggak merengek atau malah tantrum di toko mainan, keluarkan aja kertas dan pencil. Buat catatan apa saja yang diinginkan oleh si anak. Beri nomor pada setiap benda yang diinginkannya. Dan hari itu, hanya nomor 1 saja yang boleh dibeli.
Beri tahu anak, bahwa daftar keinginannya itu akan di tempel di kulkas. Jadi setiap saat anak bisa mengingatkan ibunya. Dan saat momen tertentu ibu bisa mengajak anak untuk membeli apa yang diinginkannya itu. Barang yang sudah dibeli, atau tak diinginkan lagi, dicoret dari daftar.
Lah, berarti pada akhirnya semua akan di beli dong?
Lah, daripada saat di toko mainan si anak terus merengek, bahkan tantrum dan kita jadi pusat perhatian? Lalu akhirnya si ibu menyerah dan menuruti keinginan si anak karena nggak tega, atau malu karena si anak mengamuk di muka umum.
Lagian, kadang seiring berjalannya waktu si anak tak menginginkan mainan itu lagi. Atau bisa jadi dia telah lupa.
Akui Perasaan dengan Seni
Terkadang kata-kata, baik diucapkan maupun dituliskan, tak cukup untuk mengungkapkan perasaan yang kuat. Jika Anda merasa kreatif, cobalah menggunakan seni. Tak harus pandai menggambar, kotak, lingkaran atau garis lurus pun sudah cukup.
Kadang saat saya ke pasar, Toto minta dibelikan donat. Kalau pas kesiangan, di tukang kue donatnya sudah habis. Saat pulang, saya akan bilang pada Toto bahwa donatnya sudah habis. Toto tentu saja kecewa, karena tak memperoleh apa yang diinginkannya. Dan saya akan merasa bersalah karena tak lebih pagi pergi ke pasar.
Kalau dulu, Toto akan menasihati saya.
“Makanya, mama itu berangkatnya pagi, biar nggak kehabisan”
Saya, yang udah merasa bersalah, eh tambah dinasihati sama anak kecil, jadi ngegas deh jawabnya.
“Ya kan Mama harus cuci piring dulu, bersih-bersih rumah, nungguin kakak bangun biar bisa temani Toto… bla bla bla”
Padahal kan dia tuh anak kecil. Ngapain coba saya jelaskan panjang lebar aktivitas saya di pagi hari sebelum pergi ke pasar? Baru dapat satu kalimat aja, dia segera pergi meninggalkan saya. Sementara saya masih saja jengkel dan mengomel.
Itu dulu. Sekarang beda.
Saya akan minta maaf pada Toto, karena kesiangan ke pasar, jadi nggak kebagian donat. Saya janjikan akan membelikan donat dilain waktu. Saya ambil spidol dan menggambar donat di papan tulis yang nempel di dinding ruang tengah rumah kami.
“Toto mau donat yang pakai gula, meses atau kacang?”
“Aku mau coklat (meses)”
Maka saya akan menambahkan titik-titik hitam diatas gambar donat itu.
“Tiga, Ma! Satu buat Toto, satu buat Kakak, satu buat Babang”
Maka, saya pun menambahkan lagi dua lukisan donat, lengkap dengan coretan topping sesuai yang disebutkan oleh Toto.
Dan, nggak ada acara ngomel lagi. Toto juga senang walau hari itu nggak saya belikan donat.
Berikan dalam Fantasi Sesuatu yang Tak Bisa Anda Berikan dalam Realitas
Terkadang seorang anak menginginkan yang tak mungkin dipenuhi oleh orang tuanya. Bisa jadi karena masalah keuangan, atau barang yang diinginkan itu tidak bagus untuk kesehatannya, tak sesuai dengan usianya.
Maka orang tua akan berusaha menjelaskan alasan mengapa ia tidak boleh meminta apa yang diinginkannya itu.
Hasilnya? Apakah tidak terlalu baik? Apakah anak tak bisa menerima penjelasan Anda? Anak menutup telinga, menggeleng-geleng, bahkan berteriak?
Anak yang sedang marah dan emosional, tidak bisa ditenangkan dengan ceramah yang beralasan
Dalam kondisi seperti ini, berikanlah fantasi. Saat balita menangis dimobil karena permintaannya untuk dibelikan permen tak dituruti, tak ada gunanya ceramah tentang menjaga kesehatan gigi, bahwa gigi bisa rusak kalau terlalu sering makan permen. Akui saja, permen itu memang enak kok!
“Pasti menyenangkan ya, kalau kita bisa makan permen tiap hari dan gigi kita baik-baik saja, nggak gigis, nggak rusak. Kita akan sarapan apa?”
“LOLYPOP!”
“Terus makan siangnya?”
“PERMEN COKLAT!”
Pancing si anak untuk bicara dan bercerita.
Akui Perasaan dengan Perhatian, bahkan hampir tanpa Suara
Anda bisa mendengarkan anak Anda, berempati dengan sedikit suara
“Wow”
“Ya?”
“Wah”
“Hmm”
Dengan menyediakan kedua telinga untuk mendengar, merapatkan bibir kuat-kuat atau menggeram dengan bersimpati, kita dapat menolong anak-anak menemukan jalan untuk memasuki perasaan mereka. Tahan diri Anda, jangan tiba-tiba memberi nasihat, memotong ceritanya, memberi pertanyaan ataupun mengoreksi.
Terus Belajar Menjadi Orang Tua
Buku ini adalah salah satu sarana untuk terus belajar menjadi orang tua yang baik. Karena sejatinya, menjadi orang tua itu adalah proses yang terus menerus. Apalagi jika memiliki anak lebih dari satu. Anak pertama diperlakukan A bisa jadi baik-baik saja. Namun saat anak kedua diperlakukan sama, ternyata efeknya bisa jauh berbeda.
Ok, ini seri pertama rangkuman isi buku Seni berbicara pada anak. Doakan ya saya segera bisa menuliskan seri ke duanya.
Semoga bermanfaat. Tetap semangat membersamai anak-anak di rumah.
Terkadang saat kita lagi kesal sama anak, kata2 yang dilontarkan itu di luar pemikiran kita deh. Padahl ga bermaksud demikina. AKu juga berusaha agar emosi dan segalanya diatur dg bijaksana hehehe. Buku ini menginspirasi para orangtua agar bisa bertutur kata dengan baik dan menyenangkan bagi anak2 dan semoga anak dan orangtua saling membahagiakan perasaan jiwa dan raga ya mbak. TFS/ Buku tersebut layak banget dimiliki.
Aku harus baca juga buku ini. Selama ini banyak yang salah menangani anak bahkan dari segi ucapan. Makasih banyak ya Mbak reviewnya.
Pembahasan parenting seperti ini menyenagkan dan mendidik bagi orang tua lain atau kwluarga inti untuk merawat dan mendidik anak penuh kasih sayang
Aku baca ini sesaat habis ngomel mba nanik.. dan aku Brebes Mili nih baca artikel mba.. merasa bersalah pake banget sama anak. Kadang emosi itu bisa saja dialihkan ke hal baik. Sebenarnya saya bisa milih ngomel apa diam. Tapi kadang terpancing untuk ngomel yang akhirnya berlanjut dengan penyesalan. Bahkan anak-anak juga tersakiti.
InsyaAllah ngga ada kata Terlambat ya mbaaa, utk memperbaiki pola parenting yg mungkin selama ini perlu revisi.
Aku juga ketampol nihh. Belajar banyak dari postingan ini
Makasiiii
Makasih remindernya Kak. Seringnya kita kurang sabar trus bawannya esmosi ke anak…
Takut banget kalau kalau saya. Takut anaknya jadi trauma…
Iya nih, penting banget ya kan sebagai orang dewasa memahami emosi anak-anak. Kadang pun saya juga bingung untuk menghadapinya. Malahan nih, saya lebih mudah mengambil hati anak-anak ketimbang para anak yang baru remaja.Yang remaja malah kelihatan seperti anak-anak. Susah diatur gitu.
Hiks ngiri, ada Buku Seni Berbicara dengan anak sesudah anak ku dewasa
Beli untuk hadiah ya?
Karena isinya bermanfaat banget
Betul banget mbak, kadang kita tuh jadi spontan bela diri di depan anak kalo permintaan anak nggak bisa kita penuhi. Fatalnya, kalo hal demikian berlanjut terus menerus dan pada anak pun jadi terpola “ngeles mode on” hehehe. Duh, harus banyak belajar aku nih.
“Buku panduan yang ramah pengguna ini akan memberdayakan para orang tua dan pengasuhnya untuk menjalin hubungan yang menyenangkan dengan anak-anak berusia 2 tahun yang tidak bisa diajak bekerja sama, si 3 tahun yang kasar, si 4 tahun yang galak, si 5 tahun yang tidak bisa di atur, si 6 tahun yang egois dan si 7 tahun yang tidak patuh”
Makjleb banget ini kalimat ya. Karena memang pada kenyataannya usia 2-7tahun itu krusial banget dalam masalah pendidikan emosi. Mereka merekam dengan baik apa yang mereka rasakan dan mereka lihat. Satu masa pembentukan karakter yang tidak boleh diabaikan oleh para orang tua. Been there dan memang perjuangannya alhamdulillah luar biasa.
langsung cari bukunya aku mba pengen beli juga. berbicara dan memahami emosi anak memang seni yang luar biasa indah, namun jika tidak belajar dengan benar dapat menjadi kesalahan yang fatal dan berdampak pada masa depan anak. Semangat belajar para ibu…
susah dan berat menjadi orang tua ya. tanggung jawabnya masa depan soalnya. bukan hanya anak sendiri sebagai bagian dr keluarga, tapi juga bagian dari masyarakat. saya mengalami banyak kekerasan verbal waktu kecil. dan dampaknya buruk banget.
Peluuukkk, saya pun waktu kecil juga sering mengalami kekerasan verbal mbak. Dan setiap kali jengkel pada anak-anak, kadang terlontar kata-kata kasar secara otomatis, tanpa sadar. Dan setelah itu saya pasti akan menangis. Saya nggak ingin anak2 mengalami seperti yang dulu saya alami, tapi luka masa kecil itu ternyata bisa terpicu karena “ulah” anak-anak
Bener banget Mbak
Jadi orang tua yang baik adalah proses belajar seumur hidup, padahal mendidik anak itu bukan untuk coba-coba. Sekali salah, gagal seumur hidup. Terima kasih sudah diingatkan Mbak. Nice info 🌺
Saya jadi kepikiran begini, Mba untuk menjadi orangtua itu yang pertama harus dilakukan adalah menyembuhkan inner child kita dulu. Karena kalau saya perhatikan dari banyak pengalaman saya menghadapi anak selama ini justru yang menjadi penyebab saya engga bisa kontrol itu kebanyakan dari dalam diri. Memang ada beberapa waktu saya bisa kontrol emosi dan bisa memahami anak saya. Tapi sering saya kelepasan juga, itu kenapa saya mencoba untuk mencoba menerima semuanya dulu baru bisa menghadapi emosi anak.
Bener, kadang orang tua mengatakan/melakukan sesuatu yang tak ingin dikatakan/dilakukan pada anak. Dan perkataan dan perbuatan ini muncul begitu saja saat ada pemicu. Setelah ditelusuri ternyata ini berkaitan dengan masa kecilnya.
Wah keren nih bukunya. Huhu aku masih sering ngegas nih sama anak. Untungnya suka diingetin suami. Kepengen baca bukunya secara utuh deh. Biar bisa belajar jadi ibu yang lebih sabar.
Duh itu yang makan donat gemes sama pipinya hahaha
Kalau di rumah ada anak cewek sama cowok masalahnya ya sibling rivalry mbak hahaha makanya aku Rasa penting membaca tulisan ini buatku
Wah jadi makin pengen beli bukunya. Waktu itu masih ragu dan bingung. Akhirnya beli buku 1 nya. Makasih ya mbak, ceritanya juga ngasih pencerahan ke saya (meskipun baru mau punya anak sih hehe)
Benar sekali untuk tetap belajar sebagai orang tua, bahkan ketika anak sudah remaja juga banyak sekali perkembangan harus diikuti oleh orang tua. Selamat atas bukunya, semoga segera terbit seri yang ke 2
penting banget untuk mengelolah emosi pada anak. sebagai orang tua memang tiada henti belajar ya, mbak. Apalagi karakter anak berbeda2
wah bukunyaa baguuus bangeet mba, jadi mau beli juga nih. emang bener banget kadang kita enggak sengaja ngegass kalau ngomong ke anak. padahal mah enggak boleh ya, abis itu mah nyesel. gitu aja teruus wkwkkw. makasih mba sharingnya.
Baca kayak gini sering bikin aku mikir, siap nggak ya nanti jadi Ibu? Siap nggak ya memahami anak? Secara aku masih sering keteter sama emosi sendiri mkwkwkw. Kayaknya kudu mulai belajar seni yang ini deh
ternyata toto dan babang suka bertengkar walaupun cuman rebutan lego warna biru haha tapi itulah dunia keluarga kakak dan adik harus kompak dan harus bisa bersabar memahami satu sama lainnya
Kuncinya adalah pahami dan akui perasaan anak. Sama seperti orang dewasa pengenya dipahami dan dimengerti. Akhirnya tidak ada anak yang nakal, adanya orang tua yg kurang sabar
wah aku harus baca ini sih, biar gak ngegas terus deh nih kalo ngomong sama anak, kadang suka nyesel sih yaa
Kalau anak bertingkah nggak biasanya, ngeselin berarti perasaan anak lagi gelap ya alias lagi nggak HEPI .. note baru tahu saya
Anakku mom usia 18bulan bingung aku cara untuk memarahi atau melarangnya. Kalau ngegas, aku terlihat gak enak ya plus anakku kaget melas aku gak tega. Trs aku pura2 cubit eh gak memang dia cubit balik, you pura2 ngeplak dia balik ngeplak, dibilangin jg blm mempan hmmm enaknya gimana ya mom? Sebaiknya difantasi kan ya tapi bingung contohnya apa ya mom untuk seusia anakku
Pakai lagu aja mbak, nadanya ngarang aja, pokoknya terdengar ada iramanya.
Akui perasaan dengan kata-kata, dengan tulisan, dan dengan seni ya Mbak, noted. Bagus banget nih buku tentang seni berbicara pada anak sehingga ortu bisa menangani emosi dan bisa memahami perasaan anak usia 2-7 tahun ya
Ternyata menangani emosi anak ada seninya ya, kubaru tahu mbak. Jadi tertarik buat baca bukunya dan menelaah isinya supaya bisa menerapkan seni tersebut pada anak